z PELABUHAN BULELENG ~ Adi Ngurah

Kamis, 19 Mei 2011

PELABUHAN BULELENG




Nama besar Pelabuhan Buleleng nyaris tak berbekas. Pusat jajan serba ada menggantikan tempat yang dulu digunakan sebagai dermaga terbesar di Pulau Bali itu hingga tahun 1950-an. Bekas kantor kepabeanan pun dibiarkan telantar, kosong.
Di sisi timur berdiri deretan bangunan tua yang kini dijadikan gudang bahan bangunan. Gudang-gudang itu dulunya adalah tempat pengurusan administrasi perjalanan, termasuk tempat pembelian tiket kapal. Pada musim hujan seperti saat ini, air hujan masih menggenang di depannya sekalipun hujan sudah berhenti sejak malam sebelumnya.
Pelabuhan Buleleng di Kabupaten Singaraja sebagai pintu utama Bali sejak masa pendudukan Belanda hingga menjadi ibu kota Provinsi Sunda Kecil, periode tahun 1950-1958, memang sudah cerita usang. Cerita itu hanya ”terkunci rapat” di sejumlah literatur serta mulut- mulut pelaku sejarah yang usianya menjelang senja.
Buku Republik Indonesia Provinsi Sunda Ketjil (1953) memberi gambaran kejayaan Pelabuhan Buleleng. Di zaman pendudukan Belanda, pelabuhan itu dipakai untuk bongkar muat barang dan juga kapal pesiar asing yang membawa wisatawan menikmati Pulau Dewata. Saat itulah pamor pantai utara mengalami zaman keemasan.
Kondisi itu tetap bertahan saat Singaraja dipilih sebagai ibu kota Provinsi Sunda Kecil. Sebagai salah satu dari 10 provinsi di Indonesia, yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No 21/1950, Sunda Kecil meliputi Bali, Lombok, Bima, Flores, Timor (barat) dan Sumba, serta pulau kecil di sekitarnya.
Pelabuhan Buleleng kala itu adalah pelabuhan paling penting di Bali. Melalui Pelabuhan Buleleng, sebagian besar dari 750 ekor sapi dan atau 4.000 ekor babi, serta hasil perkebunan, seperti kopi dan cengkeh asal Bali, diekspor ke Singapura.
Di pelabuhan itu pula, berlabuh kapal-kapal besar yang menghubungkan Bali dengan kota-kota pelabuhan, seperti Surabaya dan Makassar, serta kota-kota di Sunda Kecil, seperti Ampenan dan Kupang.
”Setiap akhir pekan, suasana Pelabuhan Buleleng dibumbui suasana sentimentil. Ada sorak-sorai dan peluk cium warga yang sanak saudaranya baru datang. Namun, ada juga pemudi yang menangis karena ditinggal pacar keluar pulau,” kata Gde Darna (78), Sekretaris Legiun Veteran RI Singaraja.
Kehidupan ekonomi dan sosial Buleleng ketika itu begitu hidup. Bank Perniagaan Indonesia di pusat kota Singaraja melayani simpanan dan pinjaman masyarakat. Para bekas pejuang diberi hak istimewa menjalani profesi baru sebagai pedagang, eksportir, atau menjadi pegawai pemerintah. Sejumlah sekolah hingga tingkat SMA didirikan.
Pindah ke selatan
Pengaruh pesisir utara Bali memudar saat Sunda Kecil berdasarkan Undang-Undang (UU) No 64/1958 dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2/36-136 Tahun 1960 yang menetapkan ibu kota Bali dipindahkan dari Singaraja ke Denpasar membuat Buleleng kehilangan urat nadi perekonomiannya.
Pelabuhan Buleleng pun tidak difungsikan lagi dan mati, khususnya sejak Bandara Ngurah Rai melayani penerbangan internasional pada tahun 1959. Kiblat Bali dari utara ke selatan benar-benar ”menyingkirkan” peran dan pamor Buleleng.
Pelabuhan Celukan Bawang yang dibangun di Gerokgak, 50 kilometer barat Singaraja 30 tahun lalu dan menjadi pusat bongkar muat angkutan barang dari pulau lain, tetap tidak maksimal mengembangkan perekonomian warga Buleleng.
Seperti digambarkan Darna, sejak ibu kota Bali beralih ke Denpasar, masyarakat sempat kaget. Warga yang kehilangan pekerjaan di sekitar pelabuhan kembali ke desanya, bertani dan berkebun, atau pegawai negeri.
Sejak itu, perkembangan masyarakat dan fisik Buleleng minim, bahkan dapat dikatakan stagnan. Warna Bali dengan jejak masa lalunya masih terlihat jelas di Singaraja. Salah satu yang paling mencolok adalah Kantor Bupati Buleleng. Selain bangunan yang dijadikan Kantor Dinas Pendidikan Buleleng, semua bangunan di perkantoran itu masih asli buatan zaman Belanda. Kawasan pecinan di jalan-jalan di belakang Pelabuhan Buleleng pun nyaris tak berubah. Waktu serasa berhenti ketika masuk ke Buleleng saat ini.
Timpangnya pembangunan dan derap wilayah antara utara dan selatan Bali membuat warga Singaraja banyak bekerja ke Denpasar, Gianyar, dan Badung. Mereka bekerja di sektor pariwisata sebagai penopang utama kehidupan masyarakat Bali.
Sektor pariwisata Buleleng sendiri, dengan hanya mengandalkan pariwisata di Pantai Lovina dan kawasan konservasi Tejakula, memang tidak bisa berbuat banyak selama masih berharap bola muntah dari wisata di Bali bagian selatan. Lapangan udara perintis Kolonel Wisnu di Gerokgak tak berhasil mengangkat potensi pariwisata Buleleng.
Sektor yang butuh gebrakan sebagai penopang utama struktur perekonomian Buleleng adalah pertanian. Bupati Buleleng Putu Bagiada menyatakan, pembangunan pertanian dimaknai sebagai upaya meningkatkan budidaya (kuantitas dan kualitas produksi) sekaligus penanganan pascapanen (termasuk pengolahan hasil/industri kecil) dan pemasaran.

Mengenang Pelabuhan Buleleng
 
BARANGKALI tak banyak di antara kita yang percaya, sejarah sukses kepariwisataan Bali mulai dirajut dari Pelabuhan Buleleng. Andaikata kapal Koninklijk Paketvaart Maatschpij (KPM) milik pemerintah Belanda tak pernah merapat di Pelabuhan Buleleng, boleh jadi kepariwisataan Bali tidak secemerlang sekarang.
Bali yang kemudian dikenal sebagai salah satu destinasi termasyur di kolong langit tampaknya berutang budi kepada Pelabuhan Buleleng. Melalui pelabuhan inilah para ilmuwan sekaligus penyuka tamasya dari Eropa mengenal Bali dari dekat. Baik itu alamnya, budaya dan tentu saja penduduknya yang ramah dan tulus.
Bermula dari peristiwa kecil pada suatu senja di musim kemarau, awal tahun 1900-an. Saat itu kapal KPM merapat di Pelabuhan Buleleng, penumpangnya tumpah satu per satu. Salah seorang dari penumpang itu adalah Helen Eva Yates. Wanita Inggris ini begitu terpesona dan menikmati pengalaman barunya di negeri yang alam, budaya dan tipikal manusianya sangat berbeda dengan tanah leluhurnya.
Dasar Helen seorang petualang. Dia tak mau menikmati sendiri pengalamannya yang indah itu. Tahun 1994, Helen membuat semacam catatan perjalanan. Bentuknya sedemikian adventoristis, menyerupai panduan yang dipakai perusahaan kapal KPM untuk menggaet turis agar mau berlayar ke Bali. Diakui atau tidak, catatan Helen turut menentukan pencitraan Bali di dunia Barat yang kemudian dijual menjadi komoditi pariwisata.
Dalam bentangan sejarah kepariwisataan Bali, Pelabuhan Buleleng sebagai salah satu pintu masuk sepadan dengan nama mereka yang sengaja atau tidak, telah mempromosikan Bali ke dunia internasional. Sebutlah misalnya Aernoudt Lintgent, orang asing pertama yang menjejakkan kaki di Bali pada Pebruari 1597. Tak ketinggalan Emanuel Roodenburg, Miguel Covarrubias, penulis ''Island of Bali'', dan tentu saja K'tut Tantri.
Tak Beruntung
Sayang, nasib Pelabuhan Buleleng tak seberuntung nama-mama mereka yang nyaris selalu menghiasi buku teks sejarah kepariwisataan Bali. Seiring dengan disfungsinya secara ekonomis, kecuali segelintir orang Singaraja yang ingin menikmati embusan angin senja dan desau ombak, Pelabuhan Buleleng telah lama terlupakan.
Untunglah Pemkab Buleleng sempat mendirikan tugu di sana, sebagai pertanda bahwa Pelabuhan Buleleng pernah memahat sejarah. Baik dalam konteks pariwisata Bali maupun sebagai pelabuhan laut andalan ketika Singaraja menjadi ibu kota Propinsi Sunda Kecil.
Sekitar tahun 1995, para pegiat seni dan sastra di Buleleng sempat memakai nama ini untuk menggugah kembali aktivitas berkesenian di Bumi Panji Sakti. Sejumlah dosen dan aktivis mahasiswa dari STKIP (kini IKIP) Singaraja sempat membidani lahirnya Dermaga Seni Buleleng. Civitas akademika dari kampus seribu jendela itu berkolaborasi dengan para seniman kawakan di Buleleng ingin "menghidupkan" kembali Pelabuhan Buleleng yang telah menjadi pusara.
Belakangan muncul gagasan agar Pelabuhan Buleleng dijadikan terminal kapal pesiar. Terlepas dari kerumitan teknisnya, gagasan tersebut patut disambut dengan baik. Selain akan memberi nilai ekomomis bagi Pemkab Buleleng, industri wisata serta masyarakat setempat, menghidupkan kembali Pelabuhan Buleleng memendam makna historis. Setidaknya mengenang, Pelabuhan Buleleng pernah sangat berjasa bagi kepariwisataan Bali

 

0 komentar:

Posting Komentar