z I Gusti Ketut Jelantik ~ Adi Ngurah

Kamis, 19 Mei 2011

I Gusti Ketut Jelantik



SEKAPUR SIRIH

Sebuah peninggalan dari masa lalu apapun bentuknya, yang kasat mata maupun yang
tidak dapat dilihat atau diraba, pastilah tidak lepas dari hasil pemikiran dan kerja nyata
dari seseorang. Bentuk kerja nyata tersebut bisa terwujud sesuai dengan besar kecilnya
dukungan lingkungan pada jamannya, seperti faktor waktu atau kesempatan, faktor alam
dan manusia. Bisa berhasil dengan nilai biasa saja, namun bisa bermakna monumental.

Perjalanan hidup seseorang adalah sebuah drama. Bentuk pemikiran, kata-kata dan
tindakannya bilamana kita mau merangkainya akan merupakan untaian irama sebuah
lagu yang utuh. Seluruhnya akan membentuk wujud nyata yang bisa kita sentuh, amati,
telusuri dan nikmati. Lebih dalam lagi kita bisa mengambil dan memetik hikmah dan
kebikjasanaan dari perwujudan itu. Namun pada akhirnya, penilaiannya terserah kepada
pribadi kita masing-masing, disesuaikan pada tempat, waktu dan kegunaannya, yang
dituangkan dalam istilah desa-kala-patra.


 
AWAL CERITA 

Tulisan ini dimunculkan dalam rangka Peringatan 100 tahun Puri Ayodya yang dirayakan
pada tanggal 27 Desember 2003. Puri tersebut berlokasi di desa Kalibukbuk, sekitar 10 km
dari kota Singaraja, Buleleng, Bali. Di dalam buku ini dirangkai kejadian-kejadian sekitar
kehidupan I Gusti Ketut Jelantik pendiri Puri tersebut berdasarkan cerita para orang tua,
baik yang berbentuk dokumen maupun turun dari para orang tua secara verbal.
Sebuah nama seperti I Gusti Ketut Jelantik cukup populer, banyak yang memakai nama itu,
sudah sering kita dengar atau ditemukan di berbagai sumber bacaan. Jelantik juga sering
ditulis Jlantik atau Djelantik bisa juga Djlantik. Namun sosok yang ditampilkan sekarang
yang juga bernama I Gusti Ketut Jelantik, kiranya belum banyak kalangan yang
mengetahuinya. Dengan membaca riwayat hidup beliau dan mengaitkan dengan peninggalan
hasil karya nyata dari sepak terjang selama hidupnya, sebagaimana disajikan dalam tulisan
ini, diharapkan akan terbentuk proses pengenalan dan pendekatan. Dengan demikian akan
dikenal I Gusti Ketut Jelantik yang satu ini secara spesifik. Seperti kata orang, bahwa
harimau tidak cuma seekor dan tidak semua harimau belangnya sama
 


PENGENALAN.

I Gusti Ketut Jelantik, terlahir di desa Tukadmungga pada
tahun 1850. Beliau adalah generasi ke IX dalam silsilah
keturunan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Pada usia 25 tahun,
I Gusti Ketut Jelantik ditinggal wafat oleh ayahandanya, I
Gusti Ketut Banjar, yang pernah menjabat Sedahan Agung
semasih Bali di bawah raja I Gusti Made Karang.
 

Ibunya, Gusti Biang Kompyang Keramas berasal dari Banjar Penataran desa Buleleng,
setelah menjanda diambil sebagai isteri oleh I Gusti Bagus Jelantik, yang tidak lain adalah
kakak kandung I Gusti Ketut Banjar almarhum.
I Gusti Bagus Jelantik waktu itu sebagai Punggawa Penarukan (1860-1880) yang kemudian
merangkap jabatan sebagai Patih Kerajaan Buleleng (1872-1887). Mereka tinggal di Puri
Kanginan beserta seluruh sanak keluarga
.
LANGKAH KEHIDUPAN I GUSTI KETUT JELANTIK

M
elirik Desa Kalibukbuk.
Sejak muda I Gusti Ketut Jelantik sering kali ke desa Kalibukbuk. Sedangkan kakak
tertuanya, I Gusti Putu Geria lebih dahulu berusaha tani dan memiliki secutak tanah di desa
Kalibukbuk.
Ketertarikan beliau kepada desa Kalibukbuk tidak terlepas dari cerita rakyat / legenda bahwa
wilayah desa di tepi pantai itu punya sejarah berlapis yang cukup menarik. Konon di
Kalibukbuk pernah berdiri sebuah kerajaan kecil yang makmur dengan hasil pertanian yang
melimpah dan pelabuhan perahu yang ramai.
Sekarang ini, I Gusti Ketut Jelantik dengan telah memiliki tanggung jawab sebagai kepala
keluarga bersama isteri, I Gusti Ayu Made Geria dan seorang putrinya, I Gusti Ayu Jelantik
yang sedang tumbuh, mendorong I Gusti Ketut Jelantik untuk memulai berusaha untuk
bertani di desa Kalibukbuk. Jaraknya sekitar 3 kilometer di sebelah barat desa kelahirannya,
desa Tukadmungga. Dari modal yang diberikan ibunya, beliau membeli tanah tegal di sana.
Beliau mulai menanam tembakau, jagung, umbi-umbian dan kemudian pohon kelapa.
I Gusti Ketut Jelantik terus menekuni usaha pertanian. Kalau nanti dapat untung, demikian
kata beliau kepada isterinya, uangnya akan dipakai untuk membeli kuda. Mengapa kuda,
isterinya bertanya. Untuk mengangkut hasil tani, jawabnya. Bukankah alat angkut itu
penting demi kelancaran pemasaran hasil taninya? Keterangan itu langsung didukung sang
istri.
Rupanya langkah itu memang sangat tepat. Angkutan adalah sarana penting dalam berusaha.
Disamping itu pula beliau bisa ikut dalam sekaha “mableseng”, yaitu kumpulan kusir kuda
beban atau “pekatik jaran” seperti pengalu. Beliau mengangkut hasil pertanian seperti padi,
kelapa, jagung dan hasil lainnya memakai kuda dari desa ke desa dengan menerima upah. I
Gusti Ayu Jelantik putrinya yang masih belia dengan tekun mendengarkan perbincangan
antara kedua orang tuanya.


Membangun Pura.
Beliau sangat bersukur karena merasa usaha
taninya berhasil. Untuk itu beliau membangun
sebuah tempat pemujaan dengan beberapa
pelinggih di suatu bukit kecil di hulu tegalnya
yang kemudian berkembang menjadi sebuah
Pura. Pura itu sekarang sebagai salah satu
kayangan desa Kalibukbuk dan dikenal dengan
nama Pura (Bukit) Sari.

Disebelah utara Pura Sari beliau mendirikan pondok yaitu rumah sederhana dengan tembok
tanah untuk tempat tinggal. Semenjak itulah (1878) beliau menetap di desa Kalibukbuk.
Apalagi ada saudara sepupu beliau yaitu I Gusti Putu Selat yang juga dari Puri
Tukadmungga membeli tegal dan bertani di desa itu.

Suka Duka Sebagai Petani

Karena asiknya beliau menjalani kehidupan dalam dunia
pertanian di desa, sampai berbulan-bulan lamanya tidak
pulang ke Puri Kanginan. Diceritakan selanjutnya, pada
suatu hari beliau pernah nanggap upah “mebleseng”,
yaitu mengangkut padi dengan kudanya.

Kali ini bukan di pedesaan tetapi di dalam kota Singaraja, mengangkut padi dari subak Tegal
ke Banjar Lobong melewati jalan di sebelah Puri Kanginan. Bersama anggota pengalu
dengan kudanya beliau beberapa kali bolak balik melalui jalan itu. Beliau waktu itu memakai
pakaian pengalu, lengkap dengan udeng dan bertopi capil untuk menahan terik matahari.
Namun rupanya ada sesesorang yang mengenali beliau. Orang itu lalu menghadap Ratu
Punggawa yang tidak lain adalah I Gusti Nyoman Raka kakak beliau yang sedang istirahat
di dalam gedong Puri Kanginan. Mendengar laporan tersebut Ratu Punggawa masih ragu
apakah benar yang dilaporkan itu adiknya. Memang sudah lama adik bungsunya ini tidak
pernah pulang ke puri Kanginan, semenjak menekuni pekerjaan tani di desa Kalibukbuk.
Lalu beliau bergegas menunggu di pintu luar Puri untuk melihat apakah yang dimaksud itu
benar-benar adiknya sendiri.
Sekembalinya dari Banjar Lobong, I Gusti Ketut Jelantik ditegur oleh kakaknya.Yang ditegur
pun berhenti di samping kudanya. Setelah adu pandang sejenak sang adik menghampiri dan
memberi hormat pada kakaknya yang punggawa. Mereka berdua lalu berpelukan disaksikan
oleh para abdi di sekitarnya.
Diceritakan juga mengenai putri beliau, I Gusti Ayu Jelantik yang perwatakannya maupun
perawakannya seperti anak laki-laki. Beliau ikut ayahnya berkebun, membajak, mencangkul.
Bahkan waktu musim kemarau beliau giat memikul air di pundaknya  untuk menyiram
tembakau di tegal, seperti laki-laki sungguhan. Ayah dan bundanya selalu memakai
perhitungan dan mendidiknya untuk menabung. Pada suatu hari sedang panas di tempat
orang ramai ada orang  yang menjual minuman cendol. I Gusti Ayu Jelantik yang masih
remaja ini ingin membeli cendol, tetapi dilarang ibunya. Karena terus merengek maka beliau
dihukum pukul (tigtig) oleh ibunya di tempat orang banyak. Maksudnya agar si anak bisa
menahan diri agar tidak semaunya berbelanja.

0 komentar:

Posting Komentar