z Juli 2011 ~ Adi Ngurah

www.adingurah.co.cc

Selamat Datang Di Blog Adi Ngurah , Semoga Dapat Bermanpaat Bagi Kita Semua

SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Semoga Apa Yang Telah Kita Lakukan Mendapatkan hasil Yang Memuaskan Sesua Dengan Ajaran Agama Yang Kita Anut , Semoga Kedamaian Selalu Menyertai Kita semua Di Dunia Ini

PELABUHAN BULELENG

Dulu Buleleng Sempat Terkenal Dengan Pelabuhan Kapalnya Yang Sekarang Sudah Tinggal Kenangan.

ADI NGURAH

Terlahir Penuh Dengan Keterbatasan Tak Membuatku Untuk Pantang Menyerah Dengan Keadaan, Kini Ku Bangkit dan Akan Ku Tunjukkan Kalau AKU BISA !

BULELENG IN A SECOND

Keindahan Buleleng Dengan Berbagai Tempat Wisata Yang Tak Kalah Dengan Daerah Lain Di Indonesia.

SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN CAKA 1934

Jadikan Hari Raya Nyepi Tahun Ini Sebagai Pencerminan Hidup Kita Yang Di Masa Lalu , Mari Kita Berbenah diri dari Sekarang.

MUDA KREATIFITAS

Tetaplah Berkarya Dan Jadikan Hidupmu Bermanfaat Bagi Semua Orang

Jumat, 29 Juli 2011

PURA PONJOK BATU


Lingkungan Pura Ponjok Batu merupakan sebuah tanjung yang terdiri dari batu dimana dari celah-celah batu tersebut tumbuh pohon kamboja dan semak yang sangat indah. Dalam bahasa Bali "Ponjok Batu" berarti Tanjung Batu. Lingkungan Pura ini merupakan lingkungan Pura tempat pemujaan/persembahyangan umum untuk mohon keselamatan. Dari depan lingkungan pura yang dibatasi jalan raya meuju Amlapura terlihat pemandangan Laut Jawa yang terbentang luas yang dapat menimbulkan ketenangan jiwa dan menumbuhkan inspirasi bagi pengunjungnya. Laut yang tenang yang ditumbuhi beberapa pohon tua di sekitar bukit menambah keindahan lokasi dan penduduk setempat memanfaatkannya untuk keperluan sehari-hari.

Lokasi


Lingkungan Pura Ponjok Batu ini terletak lebih kurang 24 km di sebelah Timur Singaraja, terletak di pantai Utara pulau Bali, termasuk wilayah Kecamatan Tejakula, Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng.


Kunjungan


Karena merupakan tempat persembahyangan umum, maka setiap odalan lingkungan pura ini banyak dikunjungi oleh pengunjung dari luar daerah Buleleng dan khususnya masyarakat setempat. Disamping karena keindahan alam, arsitektur lingkungan pura juga mencerminkan gaya khas yaitu seluruh bangunan terbuat dari susuban batu-batu alam yang terdapat di sekitar lokasi sangat menarik wisatawan. Sampai saat ini cukup banyak wisatawan yang berkunjung ke daerah ini, terutama para wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke obyek-obyek wisata yang ada di sebelah Timur Kabupaten Buleleng. Seperti Desa Sembiran,tarian sakral wayang wong dan dalam perjalanan menuju Karangasem.


Deskripsi


Asal muasal berdirinya Pura atau Kahyangan ini erat hubungannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra, di dalam Dwijendra Tattwa antara lain dikisahkan sebagai berikut : Pada zaman pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong, sekitar tahun Isaka 1411 atau tahun 1489 M datanglah di Bali Danghyang Nirartha yang kemudian dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Setelah beberapa lama beliau tinggal di Gelgel, maka pada suatu hari Danghyang Nirartha ingin meninjau daerah Bali di sebelah Utara Gunung (Den Bukit) yaitu Buleleng, yang seterusnya kalau tidak ada aral melintang beliau berniat akan terus menyeberang ke Sasak (Lombok). Sesudah beliau berjalan beberapa hari lamanya kemudian Danghyang Nirartha sampai pada suatu tempat di Pantai Utara Pulau Bali yang letaknya di sebelah barat laut Gunung Agung. Tempat itu berupa sebuah Tanjung yang terdiri dari batu batu, dan dari celah-celah batu tersebut tumbuh kayu-kayuan sehingga Tanjung Batu tersebut menjadi semak-semak. Di sana Danghyang Nirartha berhenti dan duduk di atas batu pada tempat yang agak tinggi untuk menikmati pemandangan laut Jawa yang terhampar luas yang sangat mengasyikkan dan menumbuhkan inspirasi baginya. Tidak dikisahkan entah sudah berapa lama Danghyang Nirartha berada di tempat itu, pada suatu hari tidak jauh dari tempat beliau duduk arah sebelah Timur terdampar sebuah perahu. Timbul keinginan beliau untuk mengetahui apa gerangan yang menyebabkan perahu tersebut terdampar, lalu tempat perahu itu terdampar didekatinya. Setelah diperiksa ternyata perahu itu mendapat kerusakan yaitu tiang layarnya patah dan layarnya robek-robek, sedang tali temalinya terputus. Anak buah dan nahkoda perahu tersebut terlempar ke pantai dalam keadaan mabuk laut dengan kondisi fisiknya sangat lemah dan tergeletak di atas pasir seakan-akan tidak berjiwa lagi. Danghyang Nirartha menyaksikan kondisi mereka yang sangat mengerikan dan menyedihkan itu menjadi iba hati, lalu segera memberikan pertolongan. Dengan kekuatan bathinnya, anak buah dan nahkoda perahu itu oleh Danghyang Nirartha diberikan babayon (tenaga) secara gaib, sehingga anak buah dan nahkoda perahu tersebut menjadi siuman dan sadarkan diri, dan tiada lama mereka sudah dapat duduk di atas pasir. Menyadari dirinya ditolong, lalu mereka menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Danghyang Nirartha, karena mereka yakin bahwa tanpa pertolongan beliau ini mereka pasti menemui ajalnya. Kemudian Danghyang Nirartha bertanya kepada anak buah dan nahkoda perahu tersebut demikian,"Darimana saudara sekalian ini?", dan segera dijawab oleh nahkoda perahu itu,:"Ya Paduka Pandita, kami ini bertujuh (7 orang adalah berasal dari Sasak (Lombok), dan di dalam pelayaran ini kami mendapat bahaya yaitu sekitar kurang lebih 1 bulan perahu kami terombang-ambing oleh ombak dan gelombang laut serta kami sampai kehabisan bekal." Seterusnya nahkoda perahu itu melanjutkan ceriteranya: "Entah sudah berapa lama kami tidak makan dan minum ditambah lagi mabuk laut, sehingga kami tidak sadarkan diri. Dalam siatuasi dan kondisi yang demikian, kami sudah tidak ada harapan hidup, dan nasib kami serahkan atas kehendak Yang Maha Kuasa, yang akhirnya kami terdampar dan terlempar di pantai ini. Kami menghaturkan banyak terima kasih yang keluar dari hati nurani kami yang paling dalam atas belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita, yang berkenan menghidupkan kami kembali. Kami yakin tanpa belas kasihan dan pertolongan Paduka Pandita kami tidak akan mungkin hidup seperti sekarang," demikian jawaban dan ceritera nahkoda perahu tersebut. Oleh karena ketujuh orang itu tampaknya sudah agak pulih kesehatannya, lalu Danghyang Nirartha memberitahu kepada mereka itu untuk membersihkan diri masing-masing dan minum air pada sebuah mata air yang baru saja timbul. Kemudian mereka disarankan mencari buah-buahan di dalam semak-semak untuk dimakan, dan setelah itu mereka lakukan , kemudian mereka beristirahat dan bermalam bersama Danghyang Nirartha disana. Di san
a Danghyang Nirartha menyarankan, andaikata mereka akan kembali berlayar ke Sasak (lombok) sebaiknya esok harinya saja dan Danghyang Nirartha akan ikut ke Sasak (Lombok). Semua saran dan nasehat Danghyang Nirartha itu diturut dan ditaati oleh anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, dan pada malam harinya mereka bermalam di sana. Tidak dikisahkan bagaimana gembira hatinya anak buah bersama nahkoda perahu tersebut, besoknya pagi-pagi mereka sudah bangun dalam keadaan fisik yang segar bugar sebagaimana keadaan sebelumnya. Menurut mereka hal ini terjadi tidak lain adalah berkat kekuatan bathin dan ketinggian ilmu gaibnya Danghyang Nirartha. Hari itu keadaan laut tenang karena tidak ada gelombang besar seperti hari kemarinnya, serta menurut hemat Danghyang Nirartha saat itu adalah waktu yang baik untuk berlayar ke Sasak (Lombok). Mereka lalu bersama-sama dengan mempergunakan perahu itu berlayar menuju ke Sasak (Lombok) dalam keadaan selamat dan sampai ke tempat tujuan, walaupun perahu itu tanpa layar. Sesudah tanjung Batu itu ditinggalkan oleh Danghyang Nirartha terjadilah keajaiban yang membuat orang-orang di sekitarnya terheran-heran, karena setiap malam hari di bekas tempat Danghyang Nirartha berhenti dan duduk itu batu-batunya menyala. Orang-orang itu ingin melihat dan membuktikan apa gerangan yang telah terjadi di atas batu-batu tersebut, sehingga setiap hari Tanjung Batu itu ramai dikunjungi orang. Mereka itu bukan saja ingin mengetahui mengenai keajaiban yang terjadi di sana, melainkan ingin mendapatkan keselamatan, lalu mereka melakukan persembahyangan di sana. Akhirnya di sana dibangun sebuah Pura atau kahyangan dengan bangunan sucinya berbentuk sebuah "Sanggar Agung" dan Pura atau Kahyangan itu diberi nama "Pura Ponjok Batu" sesuai dengan tempat itu yang merupakan tanjung batu. Kata "tanjung" sama dengan "ponjol" dalam bahasa Bali, sehingga kata "ponjok batu" berati "tanjung batu", dan sekarang pura atau Kahyangan itu menjadi tempat persembahyangan umum, untuk memohon keselamatan. Tidak mustahil bahwa sampai sekarang sudah terjadi perubahan-perubahan dari aslinya pura atau kahyangan tersebut, baik mengenai arealnya maupun mengenai palinggih (banguna sucinya). Tentu saja perubahan-perubahan itu sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan penyungsungnya, namun yang jelas dilihat dari segi status dan fungsi dari Pura Ponjok Batu ini masih tetap sebagaimana semula. Dari uraian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Pura Ponjok Batu ini tidak dapat dipisahkan dengan kisah perjalanannya Danghyang Nirartha.

Pura Meduwe Karang Penjaga Kesuburan Tanah


PURA Meduwe Karang di Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan, Buleleng sebuah tanda besar untuk meneguhkan Pulau Bali sebagai daerah agraris, secara spiritual maupun fisikal. Meduwe Karang secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai pemilik tanah. Artinya, sesuai namanya, pura ini punya ikatan spritual yang kuat dengan warga pengolah tanah di Kubutambahan dan sekitarnya, bahkan secara lebih umum juga dengan pengolah tanah di Kabupaten Buleleng dan Bali.
Di pura inilah warga pengolah tanah memohon kesuburan agar hasil panen di lahan perkebunan mereka bisa sukses. Ini terlihat jelas ketika digelar upacara pujawali pada Purnama Kaulu atau sekitar bulan Desember. Saat pujawali warga berbondong ke pura itu untuk nunas prani berupa bibit palawija, seperti bibit kacang, undis, jagung, dan ubi kayu. Bibit itu kemudian dijadikan semacam spirit untuk ditanam di wilayah perkebunan mereka.
Klian Desa Pakraman Kubutambahan, Jero Warkadea, mengatakan Pura Meduwe Karang merupakan Pura Dang Kahyangan Jagat Bali yang berkaitan erat dengan perjalanan Sri Paduka Batara Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lancana di Pura Jurang Pingit Desa Bulian. Pura ini juga punya hubungan dengan pura-pura lain di sekitarnya, seperti Pura Patih yang berada di sebelah selatan Pura Meduwe Karang yang dipisahkan dengan Jalan Raya Singaraja-Amlapura.
Selain jalan raya, di antara dua pura itu terdapat satu jalan desa menuju Desa Bulian. Maka, sela antara dua pura ini dipercaya sebagai pintu gerbang untuk keluar-masuk ke Desa Bulian. Palinggih-palinggih yang ada di Pura Meduwe Karang dan Pura Patih merupakan wujud dari penjagaan karang dan tanaman yang ada di atasnya. Misalnya di dalam Pura Meduwe Karang di sebelah utara terdapat palinggih Ratu Ngurah Punggawa. Punggawa biasa disebut camat zaman sekarang yang bertugas menjaga wilayah. Di sebelah selatan terdapat palinggih Ratu Ayu Pemaban yang menjaga tanah agar tetap subur.
Dulu, kata Jero Warkadea, Ratu Ayu Pemaban yang melinggih di pura itu pernah disebutkan kecewa kepada warga sehingga pindah ke Pura Bukit Dulang di Bukti. Sejak itu tanah di wilayah Kubutambahan menjadi kering dan tidak bisa ditanami. Warga kemudian menggelar upacara agar Ratu Ayu Pemaban mau kembali ke payogannya di Pura Meduwe Karang. Ratu Ayu pun mau kembali dan tanah di Kubutambahan kembali subur.
Secara fisik, Pura Meduwe Karang juga menunjukkan ciri khas sebagai pura yang bukan sekadar sebagai pemilik tanah, namun juga sebagai pura yang memberi penghargaan dan pengertian tentang betapa pentingnya membela atau memelihara tanah. Di areal pura itu terdapat Patung Kumbakarna yang direbut pasukan kera. Sesuai cerita dalam kitab Ramayana, Kumbakarna rela berperang melawan pasukan kera bukan untuk membela kakaknya, Rahwana. Namun, ia berperang untuk membela tanah airnya, Alengka. Selain itu, di sekeliling pura itu juga berjejer patung dengan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita Ramayana.
Selain memiliki makna perjuangan terhadap tanah, patung yang berjejer itu juga menimbulkan kesan turistik yang tertata dengan cita rasa seni tinggi dan unik.
Keunikan lain di pura itu juga tampak dari ukiran-ukirannya. Pada bagian dinding di sebelah utara terdapat ukiran relief orang naik sepeda. Yang lain adalah ukiran Batari Durga dalam manifestasinya sebagai Rangda. Rangda itu digambarkan dalam posisi duduk dengan kedua lututnya terbuka lebar. Sementara tangan kanannya memegang kepala seorang anak kecil yang berdiri di sebelah lutut, kaki kanan diletakkan di atas binatang bertanduk yang sedang berbaring.
Hasil studi dan penelitian sejarah Pura-Pura di Bali tahun 1981/1982 yang dilakukan Pemda Bali dan Institut Hindhu Dharma (IHD) Denpasar, Pura Maduwe Karang dibangun pada abad ke-19 Masehi, tepatnya pada tahun 1890. Pura itu dibangun oleh warga yang berasal dari Desa Bulian, sebuah Desa Bali Kuno, yang memutuskan untuk menetap dan mengolah tanah perkebunan di Desa Kubutambahan. Namun di sisi lain, Jero Warkadea mempercayai pura itu sudah berdiri pada tahun 1250 Masehi. Ini sesuai dengan masa kejayaan Bulian yang tertera dalam Prasasti Bulian A dan Bulian B.