z Renganis, Seni Suara Tradisional Khas Desa Penglatan ~ Adi Ngurah

Selasa, 07 Juni 2011

Renganis, Seni Suara Tradisional Khas Desa Penglatan

''Renganis'' dari Penglatan Buleleng
Seni Tembang Tradisional yang Nyaris Punah
Desa Penglatan Kecamatan Buleleng, bisa dibilang seperti sebuah laboratorium untuk mengolah berbagai jenis seni suara dan sastra lisan. Memang, sejak tahun 1980-an kelompok-kelompok pesantian yang menembangkan berbagai jenis seni suara dan sastra, seperti kekawin, kidung dan geguritan, berkembang pesat di seluruh pelosok Bali. Namun tampaknya hanya para seniman di Desa Penglatan yang lebih berani memberi sentuhan nada-nada unik dalam tiap tembang-tembang yang mereka lantunkan. Atas keberanian itulah kemudian tumbuh sebuah kesenian langka dan teramat khas. Namanya seni renganis, sebuah seni yang memadukan berbagai unsur suara, seperti suara gamelan, geguritan, dan suara binatang, yang semua perpaduan itu dimainkan hanya dengan suara mulut.
Seni renganis lahir dan tumbuh dari sebuah kultur masyarakat agraris yang punya kecintaan begitu kental terhadap alam dan lingkungan. Diperkirakan, seni suara itu lahir sekitar tahun 1930-an. Saat itu, para seniman-tani masih punya waktu yang sangat luang untuk membuat karya seni bermutu tanpa pernah memperhitungkan imbalan. Suasana penciptaan saat itu masih begitu bergairah, sehingga dalam sebuah desa akan tercipta berbagai jenis kesenian meski tak seluruhnya bisa berkembang hingga kini. Renganis termasuk salah satu jenis yang bisa hidup hingga kini meski berkali-kali pernah ''pingsan'' dan nyaris ''mati''.
Renganis adalah singkatan dari kalimat reng ane manis -- nada yang manis. Berdasar penuturan Nyoman Budarsa, seorang sesepuh seni renganis di Penglatan, kesenian itu awalnya diciptakan oleh dua seniman sekawan, Gusti Made Putra dan Pan Madra. Awalnya Gusti Made Putra begitu terpukau mendengar suara katak atau gadagan di tengah sawah atau tepi jurang, terutama pada musim hujan. Katak yang jumlahnya bisa puluhan ekor itu bisa secara bersamaan memainkan suara yang berbeda-beda dengan cecandetan yang sangat rapi dan terdengar sangat indah.
Gusti Made Putra kemudian menciptakan sebuah garapan seni dengan mengkombinasikan lagu-lagu yang terdengar manis, seperti pupuh pangkur dan dandang, dengan tiruan suara gadagan. Garapan itu terus disempurnakan dengan teman-teman lainnya dalam tiap suasana istirahat sehabis bekerja di sawah. Hasil dari permainan itu akhirnya tercipta sebuah kesenian renganis. Pan Mandra kemudian menciptakan berbagai jenis ongkek-ongkekan (cecandetan khas suara katak) yang membuat renganis itu menjadi terdengar lebih ritmis sekaligus jenaka.
Renganis dimainkan oleh sekelompok orang yang kalau dalam musik pop bisa dipadankan dengan sebuah kelompok vokal tanpa musik. Dalam renganis, masing-masing orang memainkan nada yang berbeda-beda sehingga sebuah lagu akan terdengar sangat atraktif, meriah yang terkadang diselipi nada jenaka. Dalam istilah Bali, lagu-lagu itu dimainkan dengan suara mecandetatan. Dalam perkembangan selanjutnya, renganis terus mengalami pergulatan kreasi, kolaborasi dan modifikasi. Misalnya, mulai masuknya unsur-unsur cerita dalam tiap lagu-lagu yang dimainkan.
Biasanya ceritanya diambil dari kisah-kisah kerajaan atau kisah panji, seperti Raden Putra Kahuripan dan Galuh Daha. Selain itu, jenis-jenis cecandetan-nya juga makin beragam sehingga lagu-lagu yang dimainkan menjadi makin manis sekaligus bernas. Meski sama-sama menggunakan musik mulut, renganis sangat berbeda dengan cak yang berkembang di Badung dan Gianyar atau dengan seni genjek dan cakepung yang tumbuh pesat di Buleleng dan Karangasem. Cak, meski juga memainkan cecandetan dengan suara yang berbeda-beda, namun kata yang diucapkan oleh masing-masing pemain adalah kata yang sama, yakni cak. Namun dalam renganis, cecandetan atau cecangkitan itu dimainkan dalam sebuah lagu. Nada yang disuarakan pemainnya berbeda-beda dan saling candetin sehingga menjadi satu rangkaian nada-nada yang manis.
Nada suara dalam seni renganis menjadi lebih hidup karena dikombinasikan dengan cecandetan yang menyerupai suara katak. Sehingga dalam renganis ada sejumlah pemain yang berfungsi sebagai pengugal, penyandet atau pengokek. Berbeda juga dengan genjek yang lebih banyak memainkan lagu-lagu rakyat yang lebih populer, renganis lebih memilih tembang-tembang yang dikreasikan dari kakawin, kidung dan geguritan.
Tertatih
Seperti juga seni langka lainnya, renganis kini berada di ambang kepunahan. Dulu, hingga tahun 1980-an, renganis masih populer. Setidaknya seni itu masih cukup sering tampail dalam acara-acara adat dan keagamaan yang digelar warga di Penglatan. Namun belakangan seni renganis tampak tumbuh secara tertatih. Sistem regenerasinya juga berjalan lambat. Jika pun masih ada anak muda yang mau belajar seni renganis, jumlahnya sangat sedikit dan itu pun biasanya masih berasal dari keluarga Nyoman Budarsa yang juga merupakan keluarga turunan dari Pan Madra.
Menurut seorang tokoh masyarakat di Pengalatan Drs. I Gusti Putu Teken, di desanya itu kini masih terdapat sekitar 15 anggota renganis yang masih siap tampil jika diperlukan. Anggota renganis itu biasanya sekaligus masuk dalam satu sekeha pesantian yang biasa ikut ngayah dalam acara-acara suka-duka di lingkungan Desa Pakraman Penglatan. Namun tidak semua anggota sekeha pesantian bisa memainkan renganis. Biasanya renganis dipentaskan dalam upacara-upacara khusus yang lebih besar. Untuk mementaskannya diambillah anggota sekeha pesantian yang dinilai mampu memainkan renganis.
Namun belakangan ini tampaknya tak begitu banyak warga yang berminat mempertunjukkan atau menonton renganis. Sehingga praktis kesenian ini lebih banyak istirahat dan bahkan sempat hampir hilang. Namun mereka mensyukuri adanya Pesta Kesenian Bali (PKB) yang memberikan renganis kesempatan untuk menunjukkan diri. Dalam PKB beberapa tahun lalu, renganis juga sempat dimodifikasi dengan berbagai lelampahan tanpa meninggalkan ciri-ciri aslinya dengan model mirip seperti arja. Mulai saat itu renganis ''bangkit'' kembali, kata Teken. *adnyana ole
Penglatan, Sumber Kreasi dan Variasi Seni Suara
SEORANG tokoh masyarakat di Penglatan Drs. I Gusti Putu Teken, berani memastikan bahwa renganis hanya ada di Desa Penglatan. Kalaupun ada sejumlah daerah yang mulai mengembangkan kesenian sejenis, namun ciri khas dari kreasi-kreasi seni suara yang diciptakan oleh seniman-seniman di Penglatan sangat jarang bisa ditiru oleh seniman di daerah lain. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, kata Teken, Desa Penglatan selalu diisi oleh seniman-seniman kreatif di bidang kreasi seni suara dan sastra lisan. Selain Gusti Made Putra dan Pan Madra yang disebutkan oleh Nyoman Budarsa, ada juga seniman lain seperti Ratu Sridarma dan Sridana. Menurut Teken, dua seniman itu merupakan sumber dari penciptaan-penciptaan kreasi seni suara di Desa Pengalatan.
Sejumlah tembang-tembang Bali dari sekar alit, pupuh ginanti, ginada, dandang hingga pangkur selalu diberi variasi-variasi baru. Sehingga di Buleleng dikenal adanya pupuh ginanti versi Pengalatan, ginada versi Penglatan, malat versi Pengalatan dan lain-lain. Renganis juga tercipta dari sejumlah variasi-variasi baru dalam seni suara atau seni tembang di Desa Pengalatan. Renganis itu lebih banyak menggunakan pupuh pangkur atau dandang yang sudah diberi variasi-variasi khas Penglatan. Sehingga jika ada desa lain yang membuat kesenian semacam itu dipastikan tak akan bisa sama dengan yang ada di Pengalatan. Misalnya pupuh dandang itu diberi variasi ongkek-ongkekan yang terinspirasi dari nyanyian katak pada musim hujan. ''Kesenian ini memang ciri khas Desa Penglatan. Kalau pun ada di desa lain, sangat beda dengan di Penglatan,'' katanya.
Hingga kini, semaraknya seni suara atau seni tembang atau biasa disebut seni pesantian masih tampak di Penglatan, meski tak segegap gempita pada zaman Gusti made Putra atau Sridarma. Ini terlihat dari eksisnya sejumlah sekeha pesantian di desa tersebut. Dari empat dusun yang ada di Penglatan, kini terdapat enam sekeha pesantian yang tetap aktif mengembangkan seni tembang di desa itu. Dalam tiap upacara agama seperti odalan di pura, banyak seniman yang tak mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepiawiannya menyuarakan tembang-tembang khas Penglatan. Seperti pada upacara odalan yang berlangsung 5 hari belum lama ini, selama 5 hari juga dikumandangkan tembang-tembang secara tak putus-putus, bahkan ada anggota pesantian yang tak kebagian, ujar Teken.
Revitalisasi ''Renganis'' Tugas Siapa?
TENTU sangat disayangkan jika seni renganis yang nyaris punah itu suatu saat nanti benar-benar punah. Secara sentimentil, banyak orang, terutama warga dari Desa Penglatan, akan mengenangnya dengan rasa sedih dan miris. Tapi bagaimana cara menyelamatkan kesenian itu dari kepunahan? Siapa yang bertugas untuk memberi nafas pada sebuah kesenian langka agar tetap terpelihara, setidaknya terpelihara di lingkungan di mana kesenian itu diciptakan.
Wayan Sujana, seniman sekaligus pejabat dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng mengakui pemerintah punya tugas untuk membina dan meneruskan keberlanjutan sebuah kesenian di sebuah daerah. Namun tugas itu tentu tak bisa dipegang sendiri oleh pemerintah. Masyarakat pendukung kesenian itu juga perlu menciptakan sebuah sistem pembinaan agar sebuah kesenian langka itu bisa tetap ajeg di daerahnya.
Dalam kasus renganis, Sujana mengatakan pihaknya sudah beberapa kali memberi kesempatan kepada kelompok kesenian itu untuk menunjukkan diri dalam ajang PKB. Hal itu sempat membuat renganis dikenal dan digemari oleh kalangan penikmat seni di Bali Selatan. Namun pemerintah tentu saja tak bisa melakukan hal itu secara terus-menerus, karena banyak jenis kesenian lain yang masih perlu diberi pembinaan.
Untuk itu, Sujana menyarankan agar renganis diberikan kesempatan untuk melakukan pertunjukkan lebih banyak dalam upacara adat maupun agama di desa tersebut. Misalnya menunjukkan diri dalam tiap odalan di pura. Karena menurutnya, renganis sangat cocok dipentaskan dalam upacara adat maupun agama karena kesenian itu juga mirip seperti arja atau gambuh yang memainkan kisah-kisah panji. ''Dengan diberi kesempatan pentas lebih sering, maka masyarakat pendukung dan penikmatnya juga makin meluas,'' katanya.
Secara pribadi, Sujana mengaku sangat menyukai kesenian renganis. Menurutnya, di daerah Tejakula juga terdapat kesenian serupa yang disebut genggong. Sama dengan renganis, kesenian genggong itu dimainkan hanya dengan suara mulut dengan permainan ongkek-ongkekan mirip suara kodok yang dinamis. ''Kedua kesenian itu memang langka dan harus diberi pembinaan terus menerus,'' katanya.
Di sisi lain, Nyoman Budarsa mengatakan renganis kini dianggap keramat di Penglatan sehingga tak bisa dipentaskan di sembarang tempat. Hal itu juga yang membuat kesenian tersebut tidak begitu sering dipertunjukkan. Padahal, jika dipertunjukkan kesenian itu tetap mampu mengundang penonton yang serius maupun penonton yang sekadar ingin tahu. ''Bahkan ongkek-ongkekan yang jenaka sangat disukai penonton,'' katanya.

0 komentar:

Posting Komentar