z Putra-putri Tradisi Utama Bali ~ Adi Ngurah

Senin, 06 Juni 2011

Putra-putri Tradisi Utama Bali

Pan Wandres: Mata Air Gong Kebyar


 
NAMA Pan Wandres jauh kalah gemilang tinimbang arus aliran gong kebyar dalam panggung kesenian Bali satu abad terakhir ini. Orang-orang lebih mencatat I Gede Manik sebagai cikal-bakal kelahiran genre gong kebyar di Bali, dan cenderung abai pada sosok Pak Wandres. Padahal, ''silsilah'' perguruan seni tabuh dan tari kekebyaran yang bermula sejak dasawarsa pertama abad ke-10, diperkirakan tahun 1912, di Desa Jagaraga, Buleleng, itu justru bermula dari Pan Wandres. Dialah guru I Gede Manik, sosok yang kemudian melegenda sebagai mata air gong kebyar.
Tak banyak memang, data bisa dilacak dari mata air seni karawitan Bali bernama Pan Wandres ini. Sejumlah tabuh dan tari ciptaannya bahkan banyak belum sempat diajarkan kepada orang lain, karena ia berpulang begitu cepat. Catatan sejarah seakan tidak begitu penting bagi lelaki bernama asli I Wayan Peraupan ini, karena yang menyejarah itu memang bukan manusia sebagai onggokan tulang dan daging dibalut kulit, melainkan buah ciptaannya, bersama segenap jasa (yasa) dan laku kebajikannya (kriti). Manakala onggokan tulang dan daging yang dibalut kulit, lalu rambut, itu sudah dihanguskan api lewat ritus ngaben, manusia sebagai organisme pun musnah sudah.
Namun yasa, kirti, dan buah ciptanya yang unggul cemerlang terus gilang-gemilang mengalir dan dialirkan oleh generasi-generasi baru hingga melintasi waktu, menembus ruang-ruang geografis. Pada titik demikian buah cipta itu pun menjadi milik bersama, tanpa identitas personal, apalagi sertifikat hak cipta -- yang ujung-ujungnya juga berarti hak milik pribadi seperti di Barat. Manusia besar dalam tradisi Bali justru adalah manusia tanpa milik, karena semua milik, bahkan juga jiwa dan raganya, telah diserahkan bagi orang lain, bagi masyarakat, untuk semua manusia.
Itulah Pan Wandres, yang menyerahkan segenap hidup dan raganya bagi aliran sungai kesenian di gumi Bali, menghaluskan rasa hati generasi manusia Bali, bahkan juga manusia-manusia berbangsa lain kini. Adalah berkat buah cipta Pan Wandres-lah musik alam Bali berupa gamelan gong kebyar melintas samudra hingga tumbuh menjadi sekaa Sekar Jepun di Jepang, juga sekaa Sekar Jaya di Amerika. Orang Bali bangga manakala dalam Pesta Kesenian Bali ada orang Jepang dan orang Amerika bisa memainkan tabuh kekebyaran. Pada saat bersamaan mereka juga lupa, yang mereka banggakan sebagai milik Bali itu pada muasalnya bermula dari lelaki sederhana dari Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Buleleng, bernama I Wayan Peraupan. Karena anak sulungnya bernama I Wandres, maka jadilah dia akrab disapa Pan Wandres.
Pan Wandres-lah memelopori pembentukan sekaa Gandrung di desanya. Tiada berselang lama kemudian dia bentuk sekaa Gong Kebyar dengan tabuh-tabuh anyar original. Pada saat itulah dia ciptakan pula tari Trunajaya yang energik penuh vitalitas, sekaligus anut dan pangus diiringi gong kebyar. Tari itulah yang pertama kali diajarkan Pan Wandres kepada murid kesayangannya, I Gede Manik dan I Gede Ongka. Kelak tabuh gong kebyar dan tari Trunajaya ciptaan Pan Wandres ini pun menjadi maskot baru seni tabuh dan seni tari Bali mutakhir --dan belum lagi terungguli karya-karya baru. Di masa-masa awal penjajahan Belanda yang ketat itu, Pan Wandres toh tiada jerih dan letih mengalirkan kreativitasnya di desa-desa lain. Sejumlah kelompok seni tabuh dan tari dilatihnya, mulai dari Desa Les, Baturinggit, Kubutambahan, Bondalem, Bukti, Tamblang, hingga ke Desa Bontihing, Tejakula, Sudaji, Suwug, Juwukmanis, Runuh, Nagasepaha, dan Jinengdalem. Aliran sungai perguruan seni ini kemudian diperluas lagi ke seantero Bali lewat perguruan tradisi oleh sang murid, I Gede Manik, sehingga menjadilah gong dan tari kebyar kini berdenyut hidup di hampir semua daratan tanah Bali. Buah cipta Pan Wandres, tak pelak, memang seakan menjadi lompatan kreativitas baru di tengah samudra tradisi seni klasik Bali. Dia seakan menjadi pertanda kedatangan era baru menyusul tunduk dan kalahnya seluruh kerajaan di gumi Bali oleh penjajah Belanda -- yang terakhir ditandai dengan takluknya Klungkung pada 1908. Dinamika tabuh gong kebyar seakan merefleksikan, mungkin juga mengisyaratkan lebih awal, perihal gerak laju kehidupan manusia di Bali yang lebih kencang dan lincah.
Bila kemudian kebyar kini bertumbuh menjadi monyer, kenes, sekaligus mengapungkan sisi kontemplatif yang sesungguhnya menjadi akar sekaligus puncak tradisi berkesenian di Bali, itu tentu bukan salah Pan Wandres atau sang murid I Gede Manik. Mereka berdua tetap dikenal sebagai pengabdi dan guru seni yang suntuk, utuh, total, tak mau menerima murid yang berkesenian setengah hati. Prinsip yang akhirnya terefleksi pada penyikapan terhadap kesenian itulah kiranya patut dipertanyakan: adakah kebeningjernihan aliran semangat mata air Pan Wandres dan sungai Gede Manik itu masih tersisa, kini?
* I Made Prabaswara

0 komentar:

Posting Komentar