z September 2011 ~ Adi Ngurah

www.adingurah.co.cc

Selamat Datang Di Blog Adi Ngurah , Semoga Dapat Bermanpaat Bagi Kita Semua

SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Semoga Apa Yang Telah Kita Lakukan Mendapatkan hasil Yang Memuaskan Sesua Dengan Ajaran Agama Yang Kita Anut , Semoga Kedamaian Selalu Menyertai Kita semua Di Dunia Ini

PELABUHAN BULELENG

Dulu Buleleng Sempat Terkenal Dengan Pelabuhan Kapalnya Yang Sekarang Sudah Tinggal Kenangan.

ADI NGURAH

Terlahir Penuh Dengan Keterbatasan Tak Membuatku Untuk Pantang Menyerah Dengan Keadaan, Kini Ku Bangkit dan Akan Ku Tunjukkan Kalau AKU BISA !

BULELENG IN A SECOND

Keindahan Buleleng Dengan Berbagai Tempat Wisata Yang Tak Kalah Dengan Daerah Lain Di Indonesia.

SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN CAKA 1934

Jadikan Hari Raya Nyepi Tahun Ini Sebagai Pencerminan Hidup Kita Yang Di Masa Lalu , Mari Kita Berbenah diri dari Sekarang.

MUDA KREATIFITAS

Tetaplah Berkarya Dan Jadikan Hidupmu Bermanfaat Bagi Semua Orang

Sabtu, 03 September 2011

Asal mula nama Desa/Kelurahan Banyuning



Asal mula nama Desa/Kelurahan Banyuning adalah Monaspathika diman nama-nama Monaspathika diambil dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata Mona dan Spathika. Mona berarti diam/hening, Spathika berarti air. Jadi kata Monaspathika diartikan air yang hening/Banyuning. Desa Monaspathika sudah ada pada abad 13 dimana pada jaman itu masyarakat Monaspathika tebal keyakinannya terhadap adanya Polipos gaib yang ada pada pohon-pohon yang besar dan batu-batu yang besar maka dari itu dibangunlah Pura Pemaksanan yang sekarang diberi nama Pura Gede Pemayun. Disamping itu ada pula Pura Pemaksan yang lain seperti Pura Pemaksan Kangin, Pura pemaksan kauh yang diberi nama Pura Kerta. Lama-kelamaan begitu Mpu Kuturan dating ke Bali, berdirilah Pura Kayangan Tiga di antaranya: Pura Desa/Bale Agung, Pura Dalem, dan Pura Segara. Kemudian Dalem Shili menyerahkan prasasti Raja Purana kepada bendesa Monaspathika di mana prasasti/Raja Purana terebut ditempatkan di Pura Pemaksan Kauh (Pura Kerta) dan lama kelamaan Desa Monaspathika semakin menyempit dan bagian baratnya semakin utuh. Dan bagian lainnya yaitu:
  • Sebelah utaranya disebut subak kayu pas karena orang minum air dikedat rawa-rawa membuat orang mati yang airnya mengandung racun yang diakibatkan dari pohon-pohon yang tumbuh disitu dari itulah tempat tersebut disebut Subak Kayu Pas.
  • Sebelah selatannya subak padangkeling yang ceritanya ada orang kalingga tidak cocok dengan raja Monaspathika tentang awig-awig dan dia menyingkir keselatan buat pondok-pondok disebut Desa Padangkeling
  • Sebelah timurnya subak kayu jati disebut subak jati karena disana ada pohon-pohon jadi banyak yang ditebang oleh orang-orang Bebetin dan buat pondok disana disebut Kubujati dan subaknya disebut Subak Jati.
  • Sebelah timurnya tukad buus dibuat sawah diberi nama Subak Banyuning. Jadi seseungguhnya Monaspathika menurut Pof. Berandes orang Belanda orang Belanda tahun 1868 artinya Monaspathika: Mona = Ning Spatika yaitu berkilau, berobat sama dengan Yeh (yeh ning) dan disebut Banyuning.
Kemudian Banyuning menganut penyepian khusus yaitu pada bulan September sasih ke tiga dengan hal membuat pecaruan yang dilaksanakan pada waktu matahari berada nol derajat itu didasari penduduk Banyuning pada waktu itu kena wabah penyakit serta ditambah melakukan penyepian umum (penyepian umat hindu

Upacara ''Cakcakan'' di Desa Sambirenteng --- Bersama-sama ''Magibung'' Ayam Pecundang




SUASANA di sepanjang jalan di Desa Sambirenteng, Tejakula, begitu meriah. Warga turun ke jalan dengan wajah-wajah sumringah, penuh senyum dan gurau yang diikuti tawa berderai-derai.
Betapa tidak gembira. Senin malam itu, tepat pada bulan mati, tilem kapitu, warga Desa PakramanSambirenteng sedang menggelar upacara cakcakan, sejenis upacara magibung, makan bersama, yang diikutisekitar 1.600 orang.
Upacara yang mungkin hanya satu-satunya di Bali bahkan di Indonesia ini merupakan upacara rutin yang digelar tepat pada tilem kapitu setiap tahunnya. Diperkirakan, tradisi ini berlangsung sejak beratus-ratus tahun lalu dan tetap dipelihara dengan setia oleh warga setempat.
Namun secara pasti, tak satu pun warga Sambirenteng yang mengetahui asal-usul dari tradisi tersebut."Upacara ini hanya diketahui secara tutur-tinular dari para leluhur desa," ujar Kepala Desa Sambirenteng I Wayan Nuarya. Asal-usul sebuah upacara kadang tak terlalu penting. Yang penting bagaimana warga meyakininya sebagai sesuatu yang baik dan menjalaninya dengan setia.
Itulah yang terjadi di Sambirenteng. Ketika tilem kapitu, usai melaksanakan upacara pacaruan di perempatan jalan desa, warga turun ke jalan untuk melaksanakan upacara cakcakan. Selain upacaranya sendiri cukup unik, di mana warga terlihat makan bersama di sepanjang jalan desa, prosesi yang menjadi rangkaian upacara ini pun tak kalah uniknya.
Sebelumnya, warga yang berstatus suami-istri wajib menyetor seekor ayam aduan untuk diadu dalam acara sabungan ayam yang digelar di Pura Sanggah Desa, Desa Sambirenteng. Semua ayam yang kalah (pecundang) atau ayam yang sapih (seri) harus diserahkan kepada desa adat untuk diolah menjadi lauk-pauk pagibungan.
Lalu bagaimana dengan warga yang tak punya ayam aduan atau tidak suka mengadu ayam? Untuk masalah ini, desa adat ternyata memberi solusi yang amat manusiawi. Warga yang tak menyetorkan ayam aduan untuk diadu dibolehkan menyetor satu ekor ayam pedaging atau membayar uang pemirak (semacam uang pengganti) Rp 15 ribu. Acara sambungan ayam itu dilaksanakan sehari menjelang upacara cakcakan selama sehari penuh, dan dilanjutkan setengah hari beberapa jam menjelang upacara cakcakan dimulai.
Setelah digelar acara paebatan (memasak) secara bersama-sama, maka sekitar pukul 18.00 wita upacara cakcakan pun dimulai. Semua warga Desa Sambirenteng, laki-perempuan dan tua-muda wajib turut serta, termasuk tamu atau pendatang juga diperkenankan bergabung dalam acara makan ayam pecundang itu dengan catatan harus mengikuti tata tertib. Tata tertibnya, satu klakat nasi (satu gibungan) hanya diperkenankan untuk 8 orang. Dalam acara itu disediakan 200 klakat nasi gibungan sehingga diperkirakanjumlah orang magibung mencapai 1.600 orang.
Bisa dibayangkan betapa bergembiranya warga dalam acara magibung itu, apalagi lauk-pauknya diambil dari olahan daging ayam pecundang dalam sebuah acara sabungan. Menurut sejumlah orang, daging ayam pecundang jauh lebih enak ketimbang ayam biasa yang sengaja disembelih untuk lauk-pauk.
Asisten I Sekkab Buleleng Anak Agung Ngurah Kusa mewakili Bupati Bagiada turut serta menjadi tamu undangan dalam upacara itu. Kusa bersama pejabat Muspika Tejakula turut bergembira menikmati nasi gibungan yang dipadu dengan olahan daging ayam pecundang.  
Istilah cakcakan dalam upacara itu tak ada yang mengetahui maknanya secara jelas. Bahkan, hingga kini belum ada warga yang punya waktu untuk menganalisis kepastian makna dari kata cakcakan. Yang jelas, upacara itu berlangsung setiap tahun. Meski sejarahnya tak diketahui secara lengkap, warga Desa Sambirenteng menganggap upacara itu sebagai salah satu upacara agama Hindu.
Menurut Wayan Nuarya, pada tahun 1956 pernah upacara itu tidak dilaksanakan, dan pada tahun itu terjadimusibah yang mengenaskan. "Seseorang mengamuk sampai membunuh beberapa orang,"

Legenda Asal-Usul Nama Buleleng dan Singaraja

Legenda Asal-Usul Nama Buleleng dan Singaraja

 
Di daerah Klungkung, Bali, hidup seorang raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai  istri bernama  Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji. Mereka mempunyai anak bernama I Gusti Gede Pasekan.
I Gusti Gede Pasekan mempunyai wibawa yang besar. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa. Setelah ia berusia dua puluh tahun, ayahnya menyuruhnya pergi ke Den bukit di daerah Panji.
Keesokan harinya, I Gusti gede berangkat bersama rombongan dari istana. Dalam perjalanan ke Den Bukit ini, I Gusti Gede Pasekan diiringkan oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Kadosot.
Setelah empat hari berjalan, mereka tiba disuatu tempat  yang disebut Batu Menyan. Di sana, mereka bermalam. Tiba-tiba, I Gusti Gede  Mendengar  suara gaib yang mengatakan bahawa daerah Panji akan menjadi  daerah kekuasaannya. I Gusti Gede Pasekan terkejut mendenga suara gaib tersebut.
Keesokan harinya, I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan. Walaupun perjalanan itu sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan tersebut dengan selamat.
Suatu hari, ketika ia berada didesa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Sebuah perahu Bugis terdampar di Pantai Panimbangan. Pada mulanya, orang Bugis meminta pertolongan nelayan disana. Akan tetapi, nalayan disana tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas.
Keesokan harinya, orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. Dia berkata, “Kami mengharapkan bantuan Tuan”. Jika tuan berhasil menggangkat perahu kami, sebagian isi perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai  upahnya.”
“Jika itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu yang kandas itu, “jawab I Gusti Gede Pasekan.
I Gusti Gede Pasekan berhasil membebaskan perahu itu. Ia menggunakan tenaga gaibnya untuk mengangkat perahu besar itu. Orang Bugis itu pun menaati janjinya dengan senang hati.
Sejak kejadian itu, I Gusti Gede Pasekan mulai meluaskan kekuasaannya. Pada pertengahan abad ke-17, ia mendirikan kerajaan baru di Den Bukit. Orang-orang menyebut ibu kota kerajaan itu Sukasada.
Kerajaan itu makin luas dan berkembang. Maka didirikanlah pusat kerajaan baru. Letaknya di utara kota Sukasada. Sebelum menjadi kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu pusat kerajaan baru itu disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangat digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu, didirikan istana megah yang diberi nama Singaraja.
Nama Singaraja menunjukan bahwa penghuninya adalah raja yang gagah perkasa seperti singa. Ada pula yang mengatkan bahwa Singaraja berarti ‘tempat persinggahan raja’. Ketika kerajaannya masih di Sukasada, Raja sering singgah disana. Jadi, kata singaraja berasal dari kata singgah raja.