z Upacara ''Cakcakan'' di Desa Sambirenteng --- Bersama-sama ''Magibung'' Ayam Pecundang ~ Adi Ngurah

Sabtu, 03 September 2011

Upacara ''Cakcakan'' di Desa Sambirenteng --- Bersama-sama ''Magibung'' Ayam Pecundang




SUASANA di sepanjang jalan di Desa Sambirenteng, Tejakula, begitu meriah. Warga turun ke jalan dengan wajah-wajah sumringah, penuh senyum dan gurau yang diikuti tawa berderai-derai.
Betapa tidak gembira. Senin malam itu, tepat pada bulan mati, tilem kapitu, warga Desa PakramanSambirenteng sedang menggelar upacara cakcakan, sejenis upacara magibung, makan bersama, yang diikutisekitar 1.600 orang.
Upacara yang mungkin hanya satu-satunya di Bali bahkan di Indonesia ini merupakan upacara rutin yang digelar tepat pada tilem kapitu setiap tahunnya. Diperkirakan, tradisi ini berlangsung sejak beratus-ratus tahun lalu dan tetap dipelihara dengan setia oleh warga setempat.
Namun secara pasti, tak satu pun warga Sambirenteng yang mengetahui asal-usul dari tradisi tersebut."Upacara ini hanya diketahui secara tutur-tinular dari para leluhur desa," ujar Kepala Desa Sambirenteng I Wayan Nuarya. Asal-usul sebuah upacara kadang tak terlalu penting. Yang penting bagaimana warga meyakininya sebagai sesuatu yang baik dan menjalaninya dengan setia.
Itulah yang terjadi di Sambirenteng. Ketika tilem kapitu, usai melaksanakan upacara pacaruan di perempatan jalan desa, warga turun ke jalan untuk melaksanakan upacara cakcakan. Selain upacaranya sendiri cukup unik, di mana warga terlihat makan bersama di sepanjang jalan desa, prosesi yang menjadi rangkaian upacara ini pun tak kalah uniknya.
Sebelumnya, warga yang berstatus suami-istri wajib menyetor seekor ayam aduan untuk diadu dalam acara sabungan ayam yang digelar di Pura Sanggah Desa, Desa Sambirenteng. Semua ayam yang kalah (pecundang) atau ayam yang sapih (seri) harus diserahkan kepada desa adat untuk diolah menjadi lauk-pauk pagibungan.
Lalu bagaimana dengan warga yang tak punya ayam aduan atau tidak suka mengadu ayam? Untuk masalah ini, desa adat ternyata memberi solusi yang amat manusiawi. Warga yang tak menyetorkan ayam aduan untuk diadu dibolehkan menyetor satu ekor ayam pedaging atau membayar uang pemirak (semacam uang pengganti) Rp 15 ribu. Acara sambungan ayam itu dilaksanakan sehari menjelang upacara cakcakan selama sehari penuh, dan dilanjutkan setengah hari beberapa jam menjelang upacara cakcakan dimulai.
Setelah digelar acara paebatan (memasak) secara bersama-sama, maka sekitar pukul 18.00 wita upacara cakcakan pun dimulai. Semua warga Desa Sambirenteng, laki-perempuan dan tua-muda wajib turut serta, termasuk tamu atau pendatang juga diperkenankan bergabung dalam acara makan ayam pecundang itu dengan catatan harus mengikuti tata tertib. Tata tertibnya, satu klakat nasi (satu gibungan) hanya diperkenankan untuk 8 orang. Dalam acara itu disediakan 200 klakat nasi gibungan sehingga diperkirakanjumlah orang magibung mencapai 1.600 orang.
Bisa dibayangkan betapa bergembiranya warga dalam acara magibung itu, apalagi lauk-pauknya diambil dari olahan daging ayam pecundang dalam sebuah acara sabungan. Menurut sejumlah orang, daging ayam pecundang jauh lebih enak ketimbang ayam biasa yang sengaja disembelih untuk lauk-pauk.
Asisten I Sekkab Buleleng Anak Agung Ngurah Kusa mewakili Bupati Bagiada turut serta menjadi tamu undangan dalam upacara itu. Kusa bersama pejabat Muspika Tejakula turut bergembira menikmati nasi gibungan yang dipadu dengan olahan daging ayam pecundang.  
Istilah cakcakan dalam upacara itu tak ada yang mengetahui maknanya secara jelas. Bahkan, hingga kini belum ada warga yang punya waktu untuk menganalisis kepastian makna dari kata cakcakan. Yang jelas, upacara itu berlangsung setiap tahun. Meski sejarahnya tak diketahui secara lengkap, warga Desa Sambirenteng menganggap upacara itu sebagai salah satu upacara agama Hindu.
Menurut Wayan Nuarya, pada tahun 1956 pernah upacara itu tidak dilaksanakan, dan pada tahun itu terjadimusibah yang mengenaskan. "Seseorang mengamuk sampai membunuh beberapa orang,"

0 komentar:

Posting Komentar