z Juni 2011 ~ Adi Ngurah

www.adingurah.co.cc

Selamat Datang Di Blog Adi Ngurah , Semoga Dapat Bermanpaat Bagi Kita Semua

SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Semoga Apa Yang Telah Kita Lakukan Mendapatkan hasil Yang Memuaskan Sesua Dengan Ajaran Agama Yang Kita Anut , Semoga Kedamaian Selalu Menyertai Kita semua Di Dunia Ini

PELABUHAN BULELENG

Dulu Buleleng Sempat Terkenal Dengan Pelabuhan Kapalnya Yang Sekarang Sudah Tinggal Kenangan.

ADI NGURAH

Terlahir Penuh Dengan Keterbatasan Tak Membuatku Untuk Pantang Menyerah Dengan Keadaan, Kini Ku Bangkit dan Akan Ku Tunjukkan Kalau AKU BISA !

BULELENG IN A SECOND

Keindahan Buleleng Dengan Berbagai Tempat Wisata Yang Tak Kalah Dengan Daerah Lain Di Indonesia.

SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN CAKA 1934

Jadikan Hari Raya Nyepi Tahun Ini Sebagai Pencerminan Hidup Kita Yang Di Masa Lalu , Mari Kita Berbenah diri dari Sekarang.

MUDA KREATIFITAS

Tetaplah Berkarya Dan Jadikan Hidupmu Bermanfaat Bagi Semua Orang

Rabu, 15 Juni 2011

Sejarah Perang Jagaraga



Tanggal 2 Mei dan 20 Mei adalah hari penting bagi sebuah kesadaran sejarah terutama yang menyangkut generasi muda sebagai penerus bangsa yang telah mewarisi nilai-nilai perjuangan para pendahulunya.
Berbagai kegiatan yang berbau heroik, digelar, seperti napak tilas, upacara bendera, dan seminar yang mengangkat pejuang nasional. Salah satunya, seminar yang digelar oleh UPTD Monumen Perjuangan Rakyat Bali, yang bertempat di Monumen Bajra Sandhi, Renon Denpasar baru-baru ini. Dalam seminar itu diangkat nilai-nilai perjuangan Perang Jagaraga, yang nota bene di dalamnya menghadirkan tokoh patriotik Gusti Ketut Djelantik yang terkenal dengan sebutan Patih Djelantik.
Dalam seminar yang menghadirkan 3 pemakalah -- semuanya sesuai tema -- menghadirkan ketokohan Patih Djelantik dari segala sudut pandang yang intinya mengandung nilai-nilai yang patut diteladani oleh generasi muda kita. Ini dikemukakan dengan sangat antusias oleh pemakalah dan para peserta seminar. Persoalan tidak sampai di situ. Kegamangan yang mungkin dialami sebagian masyarakat khususnya Buleleng, akan menipis menjadi kebanggaan jika didapat kejelasan sebuah fakta siapa sebenarnya Patih Djelantik itu. Sebab dari sekian referensi nyaris asal usul beliau tersamar dalam balutan keperkasaan beliau.
Seperti yang kita ketahui bersama setelah selesai perang saudara di Buleleng terjadi kesepakatan antara Raja Karangasem dengan Raja Buleleng, bahwa jika rajanya keturunan Dinasti Karangasem maka patihnya adalah keturunan Dinasti Pandji Sakti. Kemudian ada disebut-sebut seorang pahlawan wanita yang bernama Jro Jempiring. Siapa pula itu dan siapa keturunannya? Mungkin jawaban itu akan didapat jika para sejarawan, atau pakar-pakar dan para pengambil kebijakan sedikit melirik siapa yang menjadi keturunan para penguasa (raja), karena bagaimanapun konsep-konsep kepemimpinan, nilai-nilai sosial budaya dulunya berpusat di puri.

Terjadinya Perang Jagaraga
BentengJagaraga berada di atasbukit, berbentuk ´Supit Urangµ.
Selain laskar Buleleng maka raja-rajaKarangasam, Mengwi, Gianyar danKlungkung juga mengirim balabantuan sehingga jumlah seluruhnyamencapai 15000 orang.
Dalam menghadapi perlawananrakyat Bali, pihak Belanda terpaksamengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran sebanyak tigakali.
kspedisi pertama (1846)
Belanda mengirim 1700 pasukan dan dipimpinoleh van den bosch.
kspedisi tsb gagal menundukkan rakyat Balikarena raja-raja Karangasam, Mengwi,Gianyar dan Klungkung mengirim balabantuan untuk laskar Buleleng sehinggajumlah seluruhnya mencapai 15000 orang.
Semangat para prajurit juga ditopang olehisteri Jelantik bernama Jero Jempiring yangmenggerakkan dan memimpin kaum wanitauntuk menyediakan makanan bagi paraprajurit yang bertugas digaris depan.
kspedisi Ketiga ( 15-16 April 1849-Perang Jagaraga II)
Belanda mendatangkan pasukan yang lebihbanyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri daripasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni.
Dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels danVan Swieten.
Laskar Buleleng tidak mampu melawan senjatapasukanBelanda yang lebih modern sehinggaI Gusti Ketut Jelantik Patih Buleleng besertarajanya I Gusti Made Karangasem punmeloloskan diri ke Karangasem dan akhirnyagugur di Karangasem diserang oleh pasukanKarangasem yang sudah lebih dahuluditaklukkan Belanda.
Perlawanan Jagaraga berhenti karenagugurnya Patih Jelantik.
Secara politis benteng Jagaraga telah jatuh ketangan pemerintah Kolonial Belanda padatanggal
19 April 1849.
Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyatBali juga terjadi melalui puputan Badung,Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnyapada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tanganBelanda.

Sukses Berantas Prostitusi--- Desa Pakraman Bukti Kini Berjuang Entaskan Warga dari Kemiskinan



Potret Desa Pakraman Bukti Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, sekitar tahun 1980 hingga tahun 2000 sungguh sangat memprihatinkan. Selain dikenal memiliki ''sarang pelacuran'', desa itu juga dikenal sebagai salah satu kantong kemiskinan terparah di Buleleng. Kini, melalui awig-awig yang ketat dan tegas, praktik pelacuran sudah bisa diberantas hingga ke akar-akarnya. Namun masalah kemiskinan tampaknya tak bisa hanya diselesaikan dengan awig-awig. Kemiskinan di desa itu sudah begitu mengakar dan sulit untuk dientaskan jika tak ada uluran tangan dari pihak lain, misalnya pemerintah. Potensi apa saja yang dimiliki Desa Pakraman Bukti?
======================================================== 
DESA Pakraman Bukti yang terletak di pesisir utara bagian timur Buleleng itu cukup terkenal di Bali. Namun warga di desa itu sungguh-sungguh sangat tidak bangga dengan keterkenalan itu. Karena yang menjadikan desa itu terkenal adalah hal-hal yang berbau negatif, seperti pelacuran dan kemiskinan. Bahkan banyak warga Desa Bukti yang bekerja di Denpasar tak mau mengakui dirinya sebagai warga Desa Bukti dan cukup nyaman menyebut rumahnya di Kubutambahan atau Air Sanih yang lokasinya bersebelahan dengan Desa Bukti. 
Klian Desa Pakraman Bukti Gede Rumasta mengakui bahwa sekitar tahun 1990-an warganya sangat malu mengaku sebagai warga Desa Bukti. Karena memang desa itu dulunya dikenal sebagai desa yang memiliki banyak pondok kecil di pinggir jalan atau di tengah kebun yang menyediakan wanita-wanita pemuas nafsu lelaki. ''Sedikitnya dulu ada 15 rumah yang digunakan sebagai tempat prostitusi,'' sebut Rumasta. 
Banyaknya pondok prostitusi itu bukan saja membuat warga menjadi malu, namun juga membuat warga lain menjadi terganggu. Dulu, setiap malam warga yang rumahnya berada di tepi jalan sulit tidur. Karena para pemuda dan lelaki-lelaki hidung belang masih berseliweran dengan suara motor yang cukup keras hingga dini hari. Belum lagi warga terganggu dengan begitu seringnya terjadi keributan antarpemuda di desa itu yang dipicu minuman keras dan lain-lain.  
Namun, kini prostitusi sudah tak ada lagi di Bukti. Warga kembali bisa tidur nyaman dan tak perlu malu lagi mengaku sebagai warga Desa Bukti. Suksesnya pemberantasan prostitusi itu ternyata tak bisa dilepaskan dari peran desa pakraman. Pihak desa pakraman berjuang secara maraton sejak sekitar tahun 2005 untuk memberangus satu per satu pondok-pondok yang digunakan sebagai ajang pelacuran.
Menurut Rumasta, pihak desa pakraman awalnya melakukan pendekatan secara personal kepada sejumlah mucikari yang memang berasal dari Desa Bukti. Para mucikari itu diimbau untuk menutup usaha mereka yang membuat nama Desa Bukti jadi negatif di mata warga Bali lainnya. Pendekatan secara personal tak sepenuhnya berhasil sehingga kemudian diadakan paruman desa. Dalam paruman akhirnya disepakati membuat pararem yang dituangkan dalam awig-awig. 
Dalam peraturan itu disebutkan, jika seorang warga desa setempat membawa orang dari luar selama 2 x 24 jam maka warga desa yang mengajak dan yang diajak wajib melapor ke klian desa pakraman. Jika tidak melapor dan tepergok maka yang bersangkutan harus membayar denda Rp 100.000. Jika yang bersangkutan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya makan dendanya lebih banyak lagi, yakni Rp 250.000. Dan, jika warga mengulangi kesalahan yang sama untuk ketiga kalinya, sanksinya bukan lagi berupa uang, namun lebih berat lagi. Warga tersebut akan kasepekang (dikucilkan). Jika warga tersebut tetap keras kepala dan mengulangi kesalahan untuk keempat kalinya, maka warga itu dikenai sanksi karonaya (diusir) dari desa. Dengan peraturan itu, warga tak berani lagi mengajak warga lain, apalagi mengajak wanita penghibur, untuk menetap di rumah mereka selama bermalam-malam.
Rumasta mengatakan penerapan peraturan itu awalnya memang cukup sulit. Namun dengan didukung oleh warga pakraman yang lain, maka peraturan itu bisa diterapkan sehingga prostitusi bisa diberantas dan tak bisa tumbuh lagi di desa itu. ''Awalnya kami bersama aparat desa dan Camat Kubutambahan Made Suyasa begadang untuk menertibkan para mucikari dan wanita penghibur itu, namun secara perlahan praktik prostitusi akhirnya bisa dilenyapkan,''

Selasa, 07 Juni 2011

Renganis, Seni Suara Tradisional Khas Desa Penglatan

''Renganis'' dari Penglatan Buleleng
Seni Tembang Tradisional yang Nyaris Punah
Desa Penglatan Kecamatan Buleleng, bisa dibilang seperti sebuah laboratorium untuk mengolah berbagai jenis seni suara dan sastra lisan. Memang, sejak tahun 1980-an kelompok-kelompok pesantian yang menembangkan berbagai jenis seni suara dan sastra, seperti kekawin, kidung dan geguritan, berkembang pesat di seluruh pelosok Bali. Namun tampaknya hanya para seniman di Desa Penglatan yang lebih berani memberi sentuhan nada-nada unik dalam tiap tembang-tembang yang mereka lantunkan. Atas keberanian itulah kemudian tumbuh sebuah kesenian langka dan teramat khas. Namanya seni renganis, sebuah seni yang memadukan berbagai unsur suara, seperti suara gamelan, geguritan, dan suara binatang, yang semua perpaduan itu dimainkan hanya dengan suara mulut.
Seni renganis lahir dan tumbuh dari sebuah kultur masyarakat agraris yang punya kecintaan begitu kental terhadap alam dan lingkungan. Diperkirakan, seni suara itu lahir sekitar tahun 1930-an. Saat itu, para seniman-tani masih punya waktu yang sangat luang untuk membuat karya seni bermutu tanpa pernah memperhitungkan imbalan. Suasana penciptaan saat itu masih begitu bergairah, sehingga dalam sebuah desa akan tercipta berbagai jenis kesenian meski tak seluruhnya bisa berkembang hingga kini. Renganis termasuk salah satu jenis yang bisa hidup hingga kini meski berkali-kali pernah ''pingsan'' dan nyaris ''mati''.
Renganis adalah singkatan dari kalimat reng ane manis -- nada yang manis. Berdasar penuturan Nyoman Budarsa, seorang sesepuh seni renganis di Penglatan, kesenian itu awalnya diciptakan oleh dua seniman sekawan, Gusti Made Putra dan Pan Madra. Awalnya Gusti Made Putra begitu terpukau mendengar suara katak atau gadagan di tengah sawah atau tepi jurang, terutama pada musim hujan. Katak yang jumlahnya bisa puluhan ekor itu bisa secara bersamaan memainkan suara yang berbeda-beda dengan cecandetan yang sangat rapi dan terdengar sangat indah.
Gusti Made Putra kemudian menciptakan sebuah garapan seni dengan mengkombinasikan lagu-lagu yang terdengar manis, seperti pupuh pangkur dan dandang, dengan tiruan suara gadagan. Garapan itu terus disempurnakan dengan teman-teman lainnya dalam tiap suasana istirahat sehabis bekerja di sawah. Hasil dari permainan itu akhirnya tercipta sebuah kesenian renganis. Pan Mandra kemudian menciptakan berbagai jenis ongkek-ongkekan (cecandetan khas suara katak) yang membuat renganis itu menjadi terdengar lebih ritmis sekaligus jenaka.
Renganis dimainkan oleh sekelompok orang yang kalau dalam musik pop bisa dipadankan dengan sebuah kelompok vokal tanpa musik. Dalam renganis, masing-masing orang memainkan nada yang berbeda-beda sehingga sebuah lagu akan terdengar sangat atraktif, meriah yang terkadang diselipi nada jenaka. Dalam istilah Bali, lagu-lagu itu dimainkan dengan suara mecandetatan. Dalam perkembangan selanjutnya, renganis terus mengalami pergulatan kreasi, kolaborasi dan modifikasi. Misalnya, mulai masuknya unsur-unsur cerita dalam tiap lagu-lagu yang dimainkan.
Biasanya ceritanya diambil dari kisah-kisah kerajaan atau kisah panji, seperti Raden Putra Kahuripan dan Galuh Daha. Selain itu, jenis-jenis cecandetan-nya juga makin beragam sehingga lagu-lagu yang dimainkan menjadi makin manis sekaligus bernas. Meski sama-sama menggunakan musik mulut, renganis sangat berbeda dengan cak yang berkembang di Badung dan Gianyar atau dengan seni genjek dan cakepung yang tumbuh pesat di Buleleng dan Karangasem. Cak, meski juga memainkan cecandetan dengan suara yang berbeda-beda, namun kata yang diucapkan oleh masing-masing pemain adalah kata yang sama, yakni cak. Namun dalam renganis, cecandetan atau cecangkitan itu dimainkan dalam sebuah lagu. Nada yang disuarakan pemainnya berbeda-beda dan saling candetin sehingga menjadi satu rangkaian nada-nada yang manis.
Nada suara dalam seni renganis menjadi lebih hidup karena dikombinasikan dengan cecandetan yang menyerupai suara katak. Sehingga dalam renganis ada sejumlah pemain yang berfungsi sebagai pengugal, penyandet atau pengokek. Berbeda juga dengan genjek yang lebih banyak memainkan lagu-lagu rakyat yang lebih populer, renganis lebih memilih tembang-tembang yang dikreasikan dari kakawin, kidung dan geguritan.
Tertatih
Seperti juga seni langka lainnya, renganis kini berada di ambang kepunahan. Dulu, hingga tahun 1980-an, renganis masih populer. Setidaknya seni itu masih cukup sering tampail dalam acara-acara adat dan keagamaan yang digelar warga di Penglatan. Namun belakangan seni renganis tampak tumbuh secara tertatih. Sistem regenerasinya juga berjalan lambat. Jika pun masih ada anak muda yang mau belajar seni renganis, jumlahnya sangat sedikit dan itu pun biasanya masih berasal dari keluarga Nyoman Budarsa yang juga merupakan keluarga turunan dari Pan Madra.
Menurut seorang tokoh masyarakat di Pengalatan Drs. I Gusti Putu Teken, di desanya itu kini masih terdapat sekitar 15 anggota renganis yang masih siap tampil jika diperlukan. Anggota renganis itu biasanya sekaligus masuk dalam satu sekeha pesantian yang biasa ikut ngayah dalam acara-acara suka-duka di lingkungan Desa Pakraman Penglatan. Namun tidak semua anggota sekeha pesantian bisa memainkan renganis. Biasanya renganis dipentaskan dalam upacara-upacara khusus yang lebih besar. Untuk mementaskannya diambillah anggota sekeha pesantian yang dinilai mampu memainkan renganis.
Namun belakangan ini tampaknya tak begitu banyak warga yang berminat mempertunjukkan atau menonton renganis. Sehingga praktis kesenian ini lebih banyak istirahat dan bahkan sempat hampir hilang. Namun mereka mensyukuri adanya Pesta Kesenian Bali (PKB) yang memberikan renganis kesempatan untuk menunjukkan diri. Dalam PKB beberapa tahun lalu, renganis juga sempat dimodifikasi dengan berbagai lelampahan tanpa meninggalkan ciri-ciri aslinya dengan model mirip seperti arja. Mulai saat itu renganis ''bangkit'' kembali, kata Teken. *adnyana ole
Penglatan, Sumber Kreasi dan Variasi Seni Suara
SEORANG tokoh masyarakat di Penglatan Drs. I Gusti Putu Teken, berani memastikan bahwa renganis hanya ada di Desa Penglatan. Kalaupun ada sejumlah daerah yang mulai mengembangkan kesenian sejenis, namun ciri khas dari kreasi-kreasi seni suara yang diciptakan oleh seniman-seniman di Penglatan sangat jarang bisa ditiru oleh seniman di daerah lain. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, kata Teken, Desa Penglatan selalu diisi oleh seniman-seniman kreatif di bidang kreasi seni suara dan sastra lisan. Selain Gusti Made Putra dan Pan Madra yang disebutkan oleh Nyoman Budarsa, ada juga seniman lain seperti Ratu Sridarma dan Sridana. Menurut Teken, dua seniman itu merupakan sumber dari penciptaan-penciptaan kreasi seni suara di Desa Pengalatan.
Sejumlah tembang-tembang Bali dari sekar alit, pupuh ginanti, ginada, dandang hingga pangkur selalu diberi variasi-variasi baru. Sehingga di Buleleng dikenal adanya pupuh ginanti versi Pengalatan, ginada versi Penglatan, malat versi Pengalatan dan lain-lain. Renganis juga tercipta dari sejumlah variasi-variasi baru dalam seni suara atau seni tembang di Desa Pengalatan. Renganis itu lebih banyak menggunakan pupuh pangkur atau dandang yang sudah diberi variasi-variasi khas Penglatan. Sehingga jika ada desa lain yang membuat kesenian semacam itu dipastikan tak akan bisa sama dengan yang ada di Pengalatan. Misalnya pupuh dandang itu diberi variasi ongkek-ongkekan yang terinspirasi dari nyanyian katak pada musim hujan. ''Kesenian ini memang ciri khas Desa Penglatan. Kalau pun ada di desa lain, sangat beda dengan di Penglatan,'' katanya.
Hingga kini, semaraknya seni suara atau seni tembang atau biasa disebut seni pesantian masih tampak di Penglatan, meski tak segegap gempita pada zaman Gusti made Putra atau Sridarma. Ini terlihat dari eksisnya sejumlah sekeha pesantian di desa tersebut. Dari empat dusun yang ada di Penglatan, kini terdapat enam sekeha pesantian yang tetap aktif mengembangkan seni tembang di desa itu. Dalam tiap upacara agama seperti odalan di pura, banyak seniman yang tak mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepiawiannya menyuarakan tembang-tembang khas Penglatan. Seperti pada upacara odalan yang berlangsung 5 hari belum lama ini, selama 5 hari juga dikumandangkan tembang-tembang secara tak putus-putus, bahkan ada anggota pesantian yang tak kebagian, ujar Teken.
Revitalisasi ''Renganis'' Tugas Siapa?
TENTU sangat disayangkan jika seni renganis yang nyaris punah itu suatu saat nanti benar-benar punah. Secara sentimentil, banyak orang, terutama warga dari Desa Penglatan, akan mengenangnya dengan rasa sedih dan miris. Tapi bagaimana cara menyelamatkan kesenian itu dari kepunahan? Siapa yang bertugas untuk memberi nafas pada sebuah kesenian langka agar tetap terpelihara, setidaknya terpelihara di lingkungan di mana kesenian itu diciptakan.
Wayan Sujana, seniman sekaligus pejabat dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng mengakui pemerintah punya tugas untuk membina dan meneruskan keberlanjutan sebuah kesenian di sebuah daerah. Namun tugas itu tentu tak bisa dipegang sendiri oleh pemerintah. Masyarakat pendukung kesenian itu juga perlu menciptakan sebuah sistem pembinaan agar sebuah kesenian langka itu bisa tetap ajeg di daerahnya.
Dalam kasus renganis, Sujana mengatakan pihaknya sudah beberapa kali memberi kesempatan kepada kelompok kesenian itu untuk menunjukkan diri dalam ajang PKB. Hal itu sempat membuat renganis dikenal dan digemari oleh kalangan penikmat seni di Bali Selatan. Namun pemerintah tentu saja tak bisa melakukan hal itu secara terus-menerus, karena banyak jenis kesenian lain yang masih perlu diberi pembinaan.
Untuk itu, Sujana menyarankan agar renganis diberikan kesempatan untuk melakukan pertunjukkan lebih banyak dalam upacara adat maupun agama di desa tersebut. Misalnya menunjukkan diri dalam tiap odalan di pura. Karena menurutnya, renganis sangat cocok dipentaskan dalam upacara adat maupun agama karena kesenian itu juga mirip seperti arja atau gambuh yang memainkan kisah-kisah panji. ''Dengan diberi kesempatan pentas lebih sering, maka masyarakat pendukung dan penikmatnya juga makin meluas,'' katanya.
Secara pribadi, Sujana mengaku sangat menyukai kesenian renganis. Menurutnya, di daerah Tejakula juga terdapat kesenian serupa yang disebut genggong. Sama dengan renganis, kesenian genggong itu dimainkan hanya dengan suara mulut dengan permainan ongkek-ongkekan mirip suara kodok yang dinamis. ''Kedua kesenian itu memang langka dan harus diberi pembinaan terus menerus,'' katanya.
Di sisi lain, Nyoman Budarsa mengatakan renganis kini dianggap keramat di Penglatan sehingga tak bisa dipentaskan di sembarang tempat. Hal itu juga yang membuat kesenian tersebut tidak begitu sering dipertunjukkan. Padahal, jika dipertunjukkan kesenian itu tetap mampu mengundang penonton yang serius maupun penonton yang sekadar ingin tahu. ''Bahkan ongkek-ongkekan yang jenaka sangat disukai penonton,'' katanya.

MAKANAN KHAS SINGARAJA

 BELAYAG, Makanan Khas desa Penglatan

BELAYAG sebagai makanan khas memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Desa Penglatan, 8 km dari kota Singaraja. Makanan yang diramu menjadi satu perpaduan yang lezat ini diyakini masyarakat sebagai warisan turun-temurun. Entah mengapa belayag buatan ibu-ibu rumah tangga desa ini memiliki rasa yang lain jika dibandingkan belayag buatan ibu-ibu desa lainnya. Usaha belayag ini juga membantu ibu-ibu di desa itu untuk menopang penghasilan suami.

Hal tersebut diakui Kepala Desa Penglatan, Made Nariasa, S.E. Menurut Nariasa, dari segi bentuk sama saja dengan desa lainnya, namun dari segi rasa berbeda. Jika dilihat dari bumbunya terlihat sama saja dengan belayag lainnya, itulah yang membuat Nariasa bingung. Tiap pejabat yang mengunjungi desa tersebut, jika disuguhi makanan, yang dipilih pasti belayag.


Hal senada juga diungkapkan penglingsir Desa Penglatan Drs. I Gusti Putu Teken. “Memang banyak orang yang membuat belayag di Buleleng. Namun orang memberikan penafsiran lain pada rasanya,” tutur Gusti Aji, begitu ia akrab disapa.
Sebagian besar ibu di Penglatan berprofesi sebagai penjual belayag. Mereka tak tahu jelas, sejak kapan belayag berkembang di desa itu. Gusti Aji mengungkapkan, saat usianya masih anak-anak, makanan itu sudah menjadi favoritnya. “Dari dulu bentuknya sederhana. Yang berubah hanya harganya,” seloroh Gusti Aji. Sejak kenaikan harga BBM akhir 2008, belayag untuk orang dewasa Rp 2.000 - 3.000, sedangkan untuk anak-anak Rp 1.000.


Gusti Aji optimis, belayag Desa Penglatan dapat dikembangkan menjadi usaha yang besar jika para pedagang mendapat bantuan modal. Selain dijual di warung-warung, belayag juga dijual dari rumah ke rumah. Beberapa orang tampak menjajakan belayag yang disajikan dengan alas daun pisang.


Murah dan Bergizi
Sarapan dengan menyantap belayag adalah salah satu pilihan ibu-ibu yang memiliki kesibukan ekstra. Bagi ibu-ibu yang tak sempat membuat sarapan untuk keluarganya, lebih memilih ke pasar untuk membeli belayag. Makanan ini juga menjadi favorit keluarga pada hari Minggu. Sambil berlari pagi, terlihat beberapa keluarga singgah di tempat penjual belayag. “Kalau hari Minggu, kami pasti mampir untuk beli belayag,” tutur Bu Ana di warung Bu Punagi, penjual belayag.


Belayag terdiri atas ketupat dengan bentuk lonjong, sahur (kelapa parut yang digoreng dengan bumbu), sambal goreng, kedele, daging ayam, dan sayur-sayuran. Kuah kentalnya meleleh. Dengan harga yang terjangkau umum, belayag juga diyakini menahan lapar. “Kalau pagi makan belayag, pasti tak gampang lapar. Mungkin karena banyak gizinya. Kedele ‘kan memiliki gizi tinggi, daging dan sayurnya juga,” tutur Deni yang mengaku kecanduan belayag.


Tipat belayag yang merupakan masakan asli dari Buleleng hingga kini perkembangannya masih eksis. Menu tipat dicampur sayur dan daging serta sambal ini banyak diminati warga perkotaan, sebagai menu sarapan pagi. Harga yang murah dan terjangkau segala kalangan, membuat usaha menu tradisional ini tak pernah sepi pembeli.


Meski tipat belayag tergolong masakan tradisional, tak sembarang warga yang bisa membuatnya. Satu-satunya desa yang dikenal sebagai daerah di mana warga masyarakatnya telaten meracik masakan tipat belayag adalah, Desa Pengelatan, Kecamatan Buleleng. Warga di Desa Pengelatan secara turun-temurun terus melestarikan resep tipat belayag hingga sekarang.


Luh Suasni, penjual tipat belayag asal Banjar Kelodan, Desa Pengelatan, Rabu (2/1) kemarin menceritakan, tipat belayag banyak penggemarnya. Rata-rata dalam satu hari ia membuat tipat belayag hingga 5 kilogram. Kemudian daging ayam sekitar 7 kilogram lebih, dan ditambah sayur urab secukupnya.


Tidak sampai setengah hari tipat belayag racikannya itu habis terjual. ‘’Tak sampai siang hari sudah habis rata-rata hasil berjualan Rp 100.000, terkadang lebih tergantung situasi pembelinya saja,’’ katanya.


Menurut Suasni, untuk membuat tipat belayag dibutuhkan bahan-bahan seperti beras, daging ayam, sayur daun singkong muda, kelapa, kacang kedelai, bumbu lengkap, dan janur.


Pertama beras dibungkus kecil-kecil memanjang kemudian direbus hingga empat jam. Sambil menunggu tipat belayag matang, daging ayam digoreng kering kemudian disisit.


Demikian juga kacang kedelai digoreng kering. Langkah selanjutnya, membuat bumbu dengan mencampurkan tepung beras dan bumbu lengkap. Bumbu ini kemudian dimasak hingga mengental. Sementara untuk membuat sayurnya dibuat dengan cara, daun singkong muda direbus kemudian dipotong kecil-kecil, lalu dicampur dengan bumbu lengkap.


Setelah semua bahan-bahan tadi dimasak langkah selanjutnya tinggal menghindangkan. Caranya, tipat belayag dipotong kecil-kecil kemudian di atasnya ditambah sayur urab dan daging ayam.


Setelah itu, barulah disiram dengan bumbu dan di atasnya ditaburi kacang kedelai, dan sedikit sambal bagi yang senang pedas. ‘’Tipat belayag baik dihidangkan saat panas dan cocok untuk sarapan pagi,’’ jelasnya.


Lebih lanjut Suasni mengatakan, selama ini tipat belayag belum banyak yang mampu dipasarkan di restoran. Ini terjadi lantaran pengusaha tidak banyak yang melirik masakan tradisional seperti belayag ini.


Jika pengusaha restoran mencoba memasarkan tipat belayag Suasni yakin, masakan khas Buleleng ini akan mempu bersaing dengan masakan modern.


Tidak saja itu apabila tipat belayag sudah banyak yang dipasarkan di restoran, tentu warga masyarakat akan bertambah semangat untuk tetap melestarikan masakan yang tidak ada di daerah lain.


Untuk itu, ke depan Suasni menyarankan perlu adanya perhatian pemerintah maupun dari pengusaha makanan agar membantu para pembuat tipat belayag di Buleleng. Misalnya, dengan membantu permodalan termasuk pemasaran yang lebih luas.


Selama ini, diakuinya, perhatian pemerintah belum ada sama sekali untuk usaha tipat belayag ini. Pembuat tipat belayag hanya mengandalkan modal seadanya saja.


Bahkan banyak pembuat tipat belayag yang tak mampu bertahan lantaran kesulitan modal. ‘’Saya yakin tipat belayag masakan yang berpeluang untuk bersaing dalam pasaran makanan saat ini. Untuk menjawab tantangan itu pemerintah hendaknya memberikan dukungan,’’ imbuhnya. *mud


Kalau ke Singaraja, cobalah BELAYAG. Belayag adalah sejenis ketupat tapi berbentuk seperti kue lepat. Asyiknya, belayag itu dimakan pakai ayam suwir, kacang mentik goreng, plus bumbu khusus yang terbuat dari campuran kaldu ayam, bumbu genep, parutan kelapa dan sedikit pengental dari beras yang ditumbuk. Kalo ditambah ama keripik ceker ayam, wuahhhh…tambah lezaat.


Di Singaraja ketupat belayag menjadi penganan sarapan. Tempat pedagangnya antara lain di Balai Banjar Peguyangan, pasar Banyuasri dan pasar Anyar.

SIOBAK SINGARAJA
Siobak terdiri dari berbagai macam daging babi. Ada samcan, kulit, daging babi merah dan daging goreng yang semuanya disajikan dengan kuah coklat kental yang sangat berasa aroma bawang putihnya. Selain itu siobak juga dilengkapi dengan keripik kulit babi yang sangat kriuk dan irisan acar. Jika ingin pedas bisa ditambahkan sambal botol (kurang nendang) dan irisan cabai hijau.
Paduan rasa antara daging yang disiram kuah coklat kental memberikan rasa ketagihan. Gw aja sampe nambah nasi 1 porsi lagi. Rasa gurih dan aroma bawang putih mendominasi makanan ini. Daging babi merah yang biasanya kalo di Jakarta cenderung manis, terasa gurih. Hal ini mungkin karena kultur di Bali yang makanannya tidak didominasi rasa manis.

Jukut Buangit




Jukut Buangit adalah makanan yang berasal dari Sangsit. Jukut Buangit terbuat dari sayur buangit yang diolah dengan asam. Rasanya sungguh menggoda selera. Banyak yang belum tahu apa itu Jukut Buangit, jadi yang pingin tahu, silahkan anda jalan-jalan disepanjang Jln. Diponegoro. Disana banyak terdapat pedagang yang menjual masakan yang sangat enak ini.


Sekilas Tentang Bali


Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Lintang Timur yang mebuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.

Gunung Agung adalah titik tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung berapi ini terakhir meletus pada Maret 1963. Gunung Batur juga salah satu gunung yang ada di Bali. Sekitar 30.000 tahun yang lalu, Gunung Batur meletus dan menghasilkan bencana yang dahsyat di bumi. Berbeda dengan di bagian utara, bagian selatan Bali adalah dataran rendah yang dialiri sungai-sungai.


Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan diantara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai, dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha, dan lahan sangat curam (40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan yaitu : Danau Beratan, Buyan, Tamblingan dan Danau Batur.

Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar; sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan.

Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan.

Sejarah :
Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya orang-orang Hindu dari India pada 100 SM.

Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India, yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Balidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, diantaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (1293–1500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis, dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali.

Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597, meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840-an kehadiran Belanda telah menjadi permanen, yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur, dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan, yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.

Jepang menduduki Bali selama Perang Dunia II, dan saat itu seorang perwira militer bernama I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan Bali 'pejuang kemerdekaan'. Menyusul menyerahnya Jepang di Pasifik pada bulan Agustus 1945, Belanda segera kembali ke Indonesia (termasuk Bali) untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya layaknya keadaan sebelum perang. Hal ini ditentang oleh pasukan perlawanan Bali yang saat itu menggunakan senjata Jepang.

Pada 20 November 1940, pecahlah pertempuran Puputan Margarana yang terjadi di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Bali tengah. Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang berusia 29 tahun, memimpin tentaranya dari wilayah timur Bali untuk melakukan serangan sampai mati pada pasukan Belanda yang bersenjata lengkap. Seluruh anggota batalion Bali tersebut tewas semuanya, dan menjadikannya sebagai perlawanan militer Bali yang terakhir.

Pada tahun 1946 Belanda menjadikan Bali sebagai salah satu dari 13 wilayah bagian dari Negara Indonesia Timur yang baru diproklamasikan, yaitu sebagai salah satu negara saingan bagi Republik Indonesia yang diproklamasikan dan dikepalai oleh Sukarno dan Hatta. Bali kemudian juga dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949. Tahun 1950, secara resmi Bali meninggalkan perserikatannya dengan Belanda dan secara hukum menjadi sebuah propinsi dari Republik Indonesia.

Letusan Gunung Agung yang terjadi di tahun 1963, sempat mengguncangkan perekonomian rakyat dan menyebabkan banyak penduduk Bali bertransmigrasi ke berbagai wilayah lain di Indonesia.

Tahun 1965, seiring dengan gagalnya kudeta oleh G30S terhadap pemerintah nasional di Jakarta, di Bali dan banyak daerah lainnya terjadilah penumpasan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Di Bali, diperkirakan lebih dari 100.000 orang terbunuh atau hilang. Meskipun demikian, kejadian-kejadian di masa awal Orde Baru tersebut sampai dengan saat ini belum berhasil diungkapkan secara hukum.[2]

Serangan teroris telah terjadi pada 12 Oktober 2002, berupa serangan Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Serangan Bom Bali 2005 juga terjadi tiga tahun kemudian di Kuta dan pantai Jimbaran. Kejadian-kejadian tersebut mendapat liputan internasional yang luas karena sebagian besar korbannya adalah wisatawan asing, dan menyebabkan industri pariwisata Bali menghadapi tantangan berat beberapa tahun terakhir ini.

Trasportasi :
Bali tidak memiliki jaringan rel kereta api namun jaringan jalan yang sangat baik tersedia khususnya ke daerah-daerah tujuan wisatawan. Sebagian besar penduduk memiliki kendaraan pribadi dan memilih menggunakannya karena moda transportasi umum tidak tersedia dengan baik, kecuali taksi.

Jenis kendaraan umum di Bali antara lain
·  Dokar, kendaraan dengan menggunakan kuda sebagai penarik
·  Ojek, taksi sepeda motor
·  Bemo, melayani dalam dan antarkota
·  Taksi
·  Bus, melayani hubungan antarkota, pedesaan, dan antarprovinsi.

Bali terhubung dengan Pulau Jawa dengan layanan kapal feri yang menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk dengan Pelabuhan Ketapang di Kabupaten Banyuwangi, yang lama tempuhnya sekitar 30 hingga 45 menit. Penyeberangan ke Pulau Lombok melalui Pelabuhan Padang Bay menuju Pelabuhan Lembar, yang memakan waktu sekitar empat jam.

Transportasi udara dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai, dengan destinasi ke sejumlah kota besar di Indonesia, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, serta Jepang. Landas pacu dan pesawat terbang yang datang dan pergi bisa terlihat dengan jelas dari pantai.

Musik :
Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam tehnik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang
konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya Gamelan Jegog, Gamelan Gong Gede, Gamelan Gambang, Gamelan Selunding, dan Gamelan Semar Pegulingan. Adapula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben, serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya.

Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda, serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong, dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling mempengaruhi daerah budaya di sekitarnya, misalnya pada musik tradisional masyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat Lombok.

* Gamelan
* Jegog
* Genggong
* Silat Bali

Tari :
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok; yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung, dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.

 
Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari modern lainnya.

Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak mempopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Penari belia sedang menarikan Tari Belibis, koreografi kontemporer karya Ni Luh Suasthi Bandem.